:
Jakarta, InfoPublik - WHO menyebutkan masalah gangguan pendengaran dan ketulian menimbulkan beban ekonomi yang tinggi di seluruh dunia, di 2016 angkanya mencapai US$750 miliar.
"Penyebab gangguan pendengaran saat ini telah diketahui yakni kondisi degeneratif karena usia diikuti oleh paparan bising, infeksi, dan adanya sumbatan kotoran," kata Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Lily Sulistyowati pada acara Peringatan Hari Pendengaran di Panti Sosial Bina Netra Cahaya Batin Cawang Jakarta, Jumat (3/3).
Ia mengatakan, jika diketahui dan disadari sejak dini maka ada kemungkinan lebih besar untuk bisa mencegah gangguan pendengaran dengan terapi. "Bila nanti gangguan dan penyebabnya sudah diketahui maka ada akses seperti penyediaan alat bantu dengar atau implan koklea, yang mungkin bisa membantu seorang pasien mendapatkan atau menjaga fungsi pendengarannya," katanya.
Lily melanjutkan bahwa masyarakat dan instansi terkait bersama pemerintah bisa meningkatkan cakupan deteksi dini gangguan pendengaran. Hal tersebut sangat penting untuk bayi baru lahir dan anak-anak, serta untuk lansia karena pada usia tersebut rentan terjadinya gangguan pendengaran.
Sebagai langkah pencegahan ia mengimbau agar orang tua sejak awal menjaga anak-anaknya agar tidak terpapar suara yang terlalu bising. Apabila itu terjadi, maka bulu halus di dalam telinga yang menangkap getaran suara dapat rusak.
Dari data World Health Organization (WHO) dikatakan bahwa di dunia ada sekitar 360 juta atau 5,3 persen orang yang mengalami gangguan pendengaran. Dari jumlah tersebut, sekitar 328 juta atau 91 persennya adalah orang dewasa dan 32 juta atau sembilan persennya adalah dialami anak-anak.
"Menurut WHO kerugian akibat gangguan pendengaran (tuli) pada 2016 mencapai US$750 miliar. Angka yang sangat luar biasa karena itu harus diatasi dengan aksi," pungkasnya.