:
Oleh H. A. Azwar, Sabtu, 7 Mei 2016 | 21:23 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 845
Jakarta, InfoPublik - Hasil analisa dan pengamatan BPJS Watch bahwa saat ini masih banyak bupati atau walikota yang belum mau mengikuti jamkesdanya ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Pasalnya, dari sekitar 500 kabupaten/kota yang ada, baru kurang lebih 200 kabupaten/kota yang sudah mengintegrasikan jamkesdanya ke BPJS Kesehatan.
Ada yang baru masuk seperti Kabupaten Bekasi dan ada pula yang keluar di awal tahun ini seperti Kabupaten Muoro Jambi.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyatakan, pemerintah pusat memang belum mewajibkan seluruh pemda mengikutsertakan jamkesdanya ke BPJS Kesehatan.
Walaupun Road Map Bappenas menyatakan seluruh Jamkesda harus terintegrasi seluruhnya paling lambat 1 Januari 2016, namun belum ada regulasi yang memastikan tanggal tersebut.
Hal itu masih sebatas road map. Regulasi yang ada hanya menyatakan bahwa seluruh rakyat ikut BPJS kesehatan paling lambat 1 Januari 2019 (Unuversal Health Coverage). Ini artinya seluruh Jamkesda harus terintegrasi paling lambat 1 Januari 2019, kata Timboel di Jakarta, Sabtu (7/5).
Timboel yang juga Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menjelaskan mengapa dan apa akibatnya bila Jamkesda tidak terintegrasi ke BPJS Kesehatan yang berarti pemda masih mengelola uang APBD untuk kesehatan secara langsung ke rumah sakit umum derah (RSUD) ataupun rumah sakit umum swasta (RSUS) yang ada di daerah tersebut.
Potensi korupsi sangat besar mengingat selama ini dinkes-dinkes dengan mudah bermain dengan RS untuk mengatur tagihan-tagihan yang ada. Jumlah pasien 100 bisa diklaim 150, penyakit demam rendah bisa diklaim demam tinggi. RSUD masih di bawah kendali dan pengawasan dinkes-dinkes. Demikian juga RS swasta daerah yang sangat berpotensi memainkan dana APBD untuk kesehatan, jelas Timboel.
Jadi menurut Timboel, bila Jamkesda sudah ikut BPJS Kesehatan, maka iuran sebesar Rp23.000 x 12 bulan x jumlah peserta jamkesda yang dicover langsung diserahkan ke BPJS. APBD menganggarkan iuran jamkesdanya dan pembayarannya langsung ke BPJS.
“Jadi, potensi korupsinya bisa diminimalisir atau dinihilkan. Yang membayar ke RS adalah BPJS Kesehatan, bukan Dinas-Dinas Kesehatan lagi,” ujar Timboel.
Menurut Timboel, kalau ada bupati/walikota yang tidak suka dengan BPJS ya bisa diduga kuat mereka akan menyuburkan korupsi di sektor kesehatan. “Mereka masih berharap uang APBD untuk kesehatan bisa diatur sendiri, nggak perlu bayar ke BPJS lagi,” kata Timboel.
Hal pokok yang harus dimengerti para bupati dan walikota bahwa kualitas pelayanan kesehatan dalam program JKN itu bukan tanggung jawab BPJS semata, tapi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga, kata Timboel.
Timboel lantas mengingatkan bahwa yang harus dilakukan pemda untuk meningkatkan kualitas program JKN adalah menambah infrastruktur kesehatan di daerahnya.
BPJS Watch yakin, bila jamkesda terintegrasi dengan BPJS, maka iuran yang diterima BPJS akan semakin besar lagi. “Prinsip gotong royong akan semakin terlihat dan terasa. BPJS akan semakin mudah membayar klaim INA CBGs dan Kapitasi. Defisit atau mismatch akan semakin mudah teratasi,” kata Timboel.
Timboel mengatakan, bahwa JKN adalah program negara bukan program pemerintah. Oleh karenanya seluruh pemda harus mendukungnya bukan malah menegasikannya. Peran Kemendagri sangat diharapkan dalam mengawal program negara ini.
Jadi, tidak ada alasan kuat bagi pemda-pemda untuk meninggalkan Program JKN. Kalau pun ada pelayanan kesehatan yang masih kurang di daerah maka sebenarnya itu adalah akibat pemda-pemda yang tidak serius membantu kesehatan rakyatnya, tegas Timboel.