Sekjen OPSI: Peningkatan Kualitas Pendidikan Seiring Peningkatan Kesejahteraan Guru

:


Oleh H. A. Azwar, Selasa, 3 Mei 2016 | 10:24 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 538


Bandung, InfoPublik - Guru adalah profesi mulia yang memungkinkan seluruh bangsa bisa maju termasuk bangsa Indonesia. Guru merupakan profesi yang sudah ada sejak jaman dulu, saat ini dan terus akan dibutuhkan sampai dunia ini berakhir.

"Tanpa guru, maka peradaban dunia akan cepat berakhir. Tanpa guru, maka kebodohan dan kemiskinan akan lebih cepat menggerogoti umat manusia untuk segera punah," kata Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, ketika dimintai tanggapannya terkait peran guru dan May Day 2016, Senin (2/5).

Menurut Timboel, pendidikan identik dengan guru. Tanpa guru tidak ada pendidikan. Kemajuan suatu bangsa tergantung pada kemajuan pendidikannya. “Pendidikan sebagai instrumen mulia untuk memajukan dan memuliakan umat manusia tentunya tidak hidup dalam ruang hampa. Dengan pendidikan, maka akan bisa tercipta kesejahteraan dan sekaligus bisa tercipta ketimpangan,” ujar Timboel.

Timboel mengidentikkan dalam relasi kapitalisme, dimana, Ivan Illich menyebutkan pendidikan sebagai instrumen untuk mempertahankan kekuasaan termasuk kekayaan.

Bila pendidikan diabdikan untuk kekuasaan dan kekayaan maka ketimpangan dan kemiskinan semakin meluas, dan hakekat kehadiran pendidikan sudah kehilangan kemuliaannya. Kualitas dan arah pendidikan akan sangat ditentukan oleh kualitas guru. Guru menjadi front terdepan untuk menentukan arah output dunia pendidikan.

Oleh karenanya, lanjut dia, peningkatan kualitas pendidikan harus juga disertai peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru agar guru mampu membawa spirit pendidikan pada rel yang benar.

Sertifikasi guru merupakan salah satu ukuran kualitas guru. Oleh karenanya pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi para guru terutama guru swasta dan honorer agar bisa mendapat sertifikasi. "APBN dan APBD harus mendukung proses sertifikasi para guru tersebut," kata Timboel.

Sementara itu, terkait kesejahteraan guru, ia menilai mayoritas guru swasta dan guru honorer masih berada pada posisi marjinal untuk mendapatkan hak atas kesejahteraannya.

Para guru swasta dan honorer masih banyak yang memperoleh upah di bawah upah minimum, tidak mendapatkan jaminan sosial, ketidapastian status kepegawaiannya, dan sebagainya. Kondisi mayoritas guru swasta dan honorer jauh berbeda dengan kesejahteraan para guru PNS. Tercipta kesenjangan walaupun tugas mereka sama.

Dijelasknnya, sebenarnya guru adalah pekerja/buruh juga yang memiliki relasi hubungan industrial di tempat kerja. Guru juga memperoleh upah, pekerjaan dan perintah kerja sesuai Pasal 1 ayat 15 UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Nah, oleh karena itu sebenarnya ketentuan di UU Nomor 13 Tahun 2003 tersebut juga berlaku bagi para guru. Ini artinya ukuran kesejahteraan dan eksistensial para guru swasta dan honorer juga seharusnya mengikuti kaidah-kaidah yang ada di UU Nomor 13 Tahun 2003," jelasnya.

Sebenarnyan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga memuat banyak hal tentang hak-hak para guru.  Pada Pasal 14 tentang Hak dan Kewajiban, pada ayat 1 disebutkan dengan sangat eksplisit bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan DI ATAS kebutuhan hidup minimum (selaras dengan Pasal 90 UU Nomor 13 Tahun 2003 terkait upah minimum) dan jaminan sosial (juga selaras dengan perintah UU 40 tahun 2004 dan UU Nomor  24 Tahun 2011).

Guru yang tugasnya mulia tersebut masih banyak diupah di bawah upah minimum yang berlaku terutama guru-guru swasta dan honorer di daerah. Dan tentunya juga masih banyak guru yang belum mendapatkan Jaminan Sosial.

Ini fakta. Beberapa bulan yang lalu saya diminta mensosialisasikan UU Nomor  13 Tahun 2003 ke guru guru swasta, ternyata mayoritas guru guru tersebut diupah di bawah upah minimum dan belum ikut BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Ironis memang. Pasal 14 ayat 1 tersebut hanya pajangan semata.

Pada Pasal 14 itu juga disebutkan bahwa guru memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi. Ini artinya guru pun berhak berserikat dan berkumpul dalam SP/SB (selaras dengan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang SP/SB). Faktanya masih banyak guru swasta yang belum tersosialisasi tentang hak berserikat tersebut sehingga masih jarang ada SP/SB di lingkungan sekolah swasta.

Pada Pasal 15 ayat 3 disebutkan bahwa guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja  atau perjanjian kerja bersama. Ini artinya guru memiliki hak berserikat, berunding dan membuat PKB (Perjanjian Kerja Bersama). Karena masih jarangnya SP/SB di lingkungan sekolah swasta maka masih sangat sedikit adanya PKB di sekolah swasta.

Masih banyaknya permasalahan tentang pelanggaran hak normatif guru di tempat kerja tentunya sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan guru. Oleh karena itu adalah hal yang baik bila pemerintah cq. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (dan dinas-dinas pendidikan daerah dan Kementerian Ketenagakerjaan (dinas tenaga kerja daerah) ikut berperan aktif untuk memastikan UU Nomor  13 tahun 2003 dan UU Nomor  14 Tahun 2005 bisa terimplementasi dengan baik di seluruh sekolah.

Saat ini, Kementerian Ketenagakerjaan Cq. Dirjen Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial cq. Direktorat Kelembagaan Hubungan Industrial (HI) memiliki program Pemasyarakatan HI kepada Siswa, mahasiswa, guru dan dosen.

Menurut Timboel, program ini sangat strategis untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan para guru tentang hak haknya yang akan berimplikasi pada kesejahteraan guru.

Khusus bagi siswa dan mahasiswa, program pemasyarakatan HI ini akan lebih memampukan para siswa dan mahasiswa untuk memiliki pengetahuan tentang HI ketika mereka sudah lulus nantinya. Ketika lulus maka siswa dan mahasiswa tersebut hanya punya dua pilihan yaitu menjadi pekerja atau menjadi pengusaha (wirausaha). Nah, menjadi pekerja atau pengusaha wajib memiliki pengetahuan tentang HI sehingga HI menjadi akselerator kemajuan dunia usaha.

Pemahaman tentang hubungan industrial (HI) ini merupakan kebutuhan bagi dunia pendidikan. Oleh karena itu ke depan program pemasyarakatan HI sudah seharusnya dinaikkan ke jenjang lebih formal lagi dalam kurikulum nasional. Sudah saatnya Kementerian Pendidikan dan Kementerian Ketenagakerjaan memasukkan mata ajar hubungan industrial di kurikulum SMA dan Perguruan Tinggi, tukas Timboel seraya mengucapkan Selamat Hari Pendidikan Nasional 2016.