Organisasi Pekerja Kritisi Beberapa Pasal UU Tapera

:


Oleh H. A. Azwar, Sabtu, 5 Maret 2016 | 22:37 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 396


Jakarta, InfoPublik - DPR telah bersepakat untuk mensyahkan Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) beberapa waktu yang lalu. Pro kontra muncul pasca disyahkannya UU Tapera ini.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar memahami bahwa UU Tapera ini akan membawa semangat yang baik yaitu menyediakan rumah bagi pekerja.

Pasalnya, menurut Timboel, banyak pekerja yang selama ini gagal memiliki rumah walaupun sudah bekerja bertahun-tahun. Pekerja yang berpenghasilan rendah tidak memiliki akses kepada perbankan dan tidak memiliki collateral untuk mendapatkan kredit dari perbankan untuk kredit perumahan. Sementara itu, bila menyewa atau mengkontrak rumah maka biaya kontrak tersebut juga mahal.

Ada tiga komponen yang mengambil biaya besar dari upah yaitu pangan, transportasi dan perumahan. Oleh karena itu kehadiran UU Tapera menjadi kunci bagi pekerja berpenghasilan rendah untuk bisa memiliki rumah, ujar Timboel, Sabtu (5/3).

Namun demikian, Timboel mengkritisi adanya beberapa pasal seperti Pasal 7 ayat 3 yang membatasi usia  kepesertaan awal 20 tahun atau sudah kawin. “Menurut saya pekerja usia 18 dan 19 juga yang masih lajang juga berhak ikut karena yang namanya perumahan adalah kebutuhan pokok (primer) bagi pekerja,” kata Timboel.

Juga dengan Pasal 14 ayat 2 dan 3  yang mengatur tentang berakhirnya masa kepesertaan berhak memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukannya, namun hasil pemupukannya diperoleh setelah dilakukan pembagian secara prorata.

Prorata artinya ada potensi hasil pemupukan pekerja di potong. Menurut saya seharusnya pengembalian hasil pemupukannya tidak dibagikan secara prorata tapi berapa yang didapat dari hasil pemupukan ya itulah yang diberikan. Jadi, tidak boleh dipotong, terang Timboel.

Hal ini, disebutnya relevan dengan pasal 14 tersebut, maka pasal 23 harus menyebutkan secara eksplisit bahwa dana tapera peserta dan hasil pemupukannya diberitahu per tahun kepada peserta seperti dana JHT di BPJS Ketenagakerjaan.

Terkait dengan kepesertaan pada Pasal 7 yang diwajibkan semua pekerja termasuk pekerja asing, menurutnya, sebaiknya kepesertaan dibatasi saja pada pekerja yang berupah dibawah 2 PTKP (sekitat Rp7 juta) pada saat menjadi peserta.

Toh menurut Pasal 27 yaitu tentang syarat bagi peserta untuk mendapatkan pembiayaan perumahan, maka yang berhak hanya golongan masyarakat termasuk pekerja yang berpenghasilan rendah. Ini artinya pekerja yang tidak berpenghasilan rendah tidak mendapatkan manfaatnya apalagi ketika mau diambil maka yang diambil prorata (mengacu pada Pasal 14 ayat 2 dan 3), ujarnya.

Ini terkesan UU Tapera hanya jadi tabungan hari tua bagi yang bukan berpenghasilan rendah. “Kan, sudah ada pensiun dan JHT di BPJS Ketenagakerjaan. Ini akan memberatkan perusahaan tentunya,” imbuh Timboel.

Jadi, dikatakannya, bila UU Tapera ini berorientasi gotong royong, sebenarnya masyarakat berpenghasilan rendah termasuk pekerja yang berpenghasilan rendah juga masih banyak, bisa sekitar 80 persen. “Dengan jumlah yang besar tersebut masih ada unsur kegotong-royongannya,” kata Timboel.

Timboel juga menyebutkan, demikian juga dengan Pasal 28 yang mengatur tentang kelayakan peserta untuk mendapatkan pembiayaan. Syarat tersebut sangat subyektif dari BP Tapera terutama ayat 2 c yaitu tingkat kemendesakan kepemilikan rumah dan ayat 2 d tentang ketersediaan dana pemanfaatan.

Kalo merujuk pada dua ayat ini maka tidak ada kepastian kapan peserta bisa mendapatkan pembiayaan rumah. Kalaupun diatur lebih lanjut dalam Peraturan BP Tapera maka seharusnya ada kepastian secara obyektif, tidak menjadi subyektifnya BP Tapera, terangnya.

Dari seluruh pasal yang ada, Timboel menilai, banyak kewenangan regulasi operasionalnya diserahkan kepada Peraturan PB Tapera. “Harusnya terkait kepastian peserta mendapatkan rumah diatur oleh Peraturan Pemerintah bukan oleh Peraturan PB Tapera (seperti Pasal 28),” tegasnya.

Dikatakannya, yang mendesak pekerja dan rakyat berpenghasilan rendah adalah kepastian untuk mendapatkan rumah. “Semoga regulasi turunan yang diamanatkan UU Tapera ini harus dibahas secara terbuka oleh seluruh stakeholder terutama SP/SB sehingga obyektifitas pelaksanaan UU Tapera bisa terpenuhi,” kata Timboel seraya mendorong SP/SB terus mengawal pembuatan regulasi operasional UU Tapera ini.