- Oleh Mukhammad Maulana Fajri
- Rabu, 2 Oktober 2024 | 09:00 WIB
: Hakim Konstitusi, Saldi Isra memimpin sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Perkara Nomor 46/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016/ foto: MK
Oleh Mukhammad Maulana Fajri, Senin, 1 Juli 2024 | 16:01 WIB - Redaktur: Untung S - 393
Jakarta, InfoPublik – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Perkara Nomor 46/PUU-XXII/2024 perihal Permohonan Pengujian Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Berdasarkan siaran pers MK pada Senin (1/7/2024), sidang tersebut dilaksanakan pada Senin (1/7/2024) pukul 11.00 WIB. Para Pemohon pada perkara a quo yaitu Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor sebagai Pemohon I, seorang pegawai negeri sipil bernama Ahmad Sufian sebagai Pemohon II, dan seorang mahasiswa bernama Riska sebagai Pemohon III.
Sebaga informasi, norma yang dipersoalkan Pemohon telah diuji dan diputus MK pada 4 Maret 2024 melalui Putusan 27/PUU-XXII/2024. MK menyatakan pasal a quo yang berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan 2020 menjabat sampai dengan 2024” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional 2024 sepanjang tidak melewati lima tahun masa jabatan.”
Para Pemohon menyoroti pelantikan secara serentak terhadap hasil pemilihan kepala daerah serentak 2024 mendatang. Menurut para Pemohon, hal tersebut melanggar hak konstitusional Pemohon I yang saat ini menjabat sebagai gubernur. Para Pemohon berkeyakinan banyak alternatif yang juga tidak serta merta melanggar ketentuan berlaku dengan tidak memberlakukan pelantikan secara serentak.
Untuk itu, Para Pemohon memohon kepada MK agar pelantikan tersebut tidak diberlakukan sehingga Pemohon I dapat menyelesaikan masa jabatan lima tahun. Dalam provisi, Pemohon meminta MK menjadikan permohonan a quo sebagai prioritas pemeriksaan.