:
Oleh Untung S, Selasa, 15 Maret 2016 | 20:00 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 272
Jakarta, InfoPublik - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya penjemputan paksa terhadap anggota DPR Budi Supriyanto, tersangka dalam kasus penerimaan hadiah atau janji dalam proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/3), mengungkapkan upaya penjemputan paksa ini dilakukan karena yang bersangkutan sudah dua kali tidak memenuhi panggilan penyidik KPK untuk dimintai keterangannya sebagai tersangka. "Sudah dilakukan oleh penyidik dan langsung diperiksa, soal penahanan itu wewenang penuh penyidik, tapi biasanya jika dilakukan jemput paksa maka cenderung ada upaya penahanan setelah itu," kata Yuyuk Andriati.
Sebelumnya penyidik KPK menjadwalkan memanggil Budi pada Kamis (10/3) namun iyang bersangkutan tidak memenuhi panggilan dengan alasan sakit dengan bekal surat keterangan sakit dan saran untuk beristirahat tiga hari dari dokter Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang.
Pemanggilan kembali dilakukan penyidik terhadap Budi pada Senin (14/3), namun Budi kembali tidak memenuhi panggilan, bedanya kali ini tanpa keterangan apapun.
Penyidikan sementara KPK terkait kasus ini menemukan bahwa Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir diketahui mengeluarkan uang 404 ribu dolar Singapura agar perusahaanya mendapat proyek jasa konstruksi yang dibiayai dana aspirasi DPR di Provinsi Maluku yang dicairkan melalui Kementerian PUPR.
Pada 2016, di wilayah II Maluku yang meliputi Pulau Seram akan ada 19 paket pekerjaan yang terdiri dari 14 jalan dan lima jembatan dan masih dalam proses pelelangan.
Abdul memberikan uang 99 ribu dolar Singapura kepada anggota Komisi V dari Fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti melalui dua rekannya Julia Prasetyarini serta Dessy A Edwin serta memberikan 305 ribu dolar Singapura kepada Budi Supriyanto.
Budi pernah melaporkan pemberian uang tersebut ke Direktorat Gratifikasi KPK pada 1 Februari 2016 tapi ditolak karena menyangkut tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.