:
Oleh Wawan Budiyanto, Kamis, 24 Januari 2019 | 11:14 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 448
Jakarta, InfoPublik - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menciptakan peluang baru bagi Indonesia terutama dari beberapa perusahaan manufaktur Negeri Tirai Bambu yang ingin memindahkan basis produksinya ke Indonesia demi menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS.
“Beberapa industri tekstil dan alas kaki global sedang mempertimbangkan pemindahan pabrik dari China ke Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di sela menghadiri perhelatan 2019 World Economic Forum Annual Meeting di Davos, Swiss, Kamis (24/1).
Pihaknya terus mendorong peningkatan investasi, terutama di sektor yang menjadi prioritas dalam penerapan industri 4.0 sesuai peta jalan Making Indonesia 4.0. Industri tekstil dan pakaian jadi, menjadi salah satu sektornya.
Diungkapkannya, pada tahun 2019, ada investor China yang bakal menanamkan modalnya sebesar Rp10 triliun di sektor industri tekstil. Investasi ini mengarah kepada pengembangan sektor menengah atau midstream, seperti bidang pemintalan, penenunan, pencelupan, dan pencetakan.
Menurutnya, Indonesia dinilai menjadi salah satu negara tujuan utama bagi investor China. Ini seiring pula dengan komitmen pemerintah yang terus menciptakan iklim investasi kondusif dan memberikan kemudahan dalam proses perizinan usaha.
“Salah satu contohnya, para investor dari China membangun kawasan industri baru di Sulawesi Tengah, yang selama lima tahun ini telah berinvestasi sebanyak USD5 miliar dan ekspor dari lokasi tersebut sudah mencapai USD4 miliar,” ujarnya.
Selain ada penambahan investasi baru, perang dagang AS-China juga membawa dampak bagi pelaku industri di Indonesia untuk memacu utilitas atau kapasitas produksinya dalam upaya mengisi pasar ekspor ke dua negara tersebut.
“Kita telah ekspor baja ke AS, sehingga harapannya bisa memasukkan lebih banyak lagi produk itu,” terangnya.
Pada Januari-November 2018, ekspor besi dan baja RI ke AS melonjak hingga 87,7 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan total ekspor RI ke AS tercatat tumbuh 3 persen pada periode yang sama.
Kerja sama ekonomi RI-AS selama ini bersifat komplementer guna saling memenuhi kebutuhan pasar dan sektor manufaktur masing-masing negara. Bahkan, dengan adanya era ekonomi digital baru dari AS, juga ikut membuka peluang pengembangan di Indonesia.
“Misalnya, kami sudah mendapat investasi berupa Apple Developer Academy. Pemerintah juga menjajaki peluang pembangunan data center di Indonesia,” ungkapnya.
Ditekankan Airlangga, perang dagang pada akhirnya hanya akan menurunkan kinerja perekonomian global. “Norma baru dengan pertumbuhan yang rendah merupakan kondisi yang tidak ideal bagi semua,” terangnya.
Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang berkisar 3-3,6 persen, tidak membawa dampak baik pula bagi kondisi di Indonesia. Termasuk juga terjadi di ASEAN. “Melihat perspektif global economy going forward, pertumbuhan ekonomi yang tinggi pasti lebih baik bagi semuanya,” tambah Airlangga.
Oleh karena itu, bank sentral harus mengantisipasi dan berhati-hati dalam menaikkan suku bunga.
“Yang lebih penting bagi kami adalah likuiditas, agar bisnis bisa berfungsi. Dengan suku bunga satu digit saat ini, kondisi sudah cukup baik dan bisa lebih efektif bagi sektor manufaktur kalau diturunkan lagi,” tegasnya.