:
Oleh Amrln, Minggu, 30 Oktober 2016 | 06:17 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 440
Jakarta, InfoPublik - Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengungkapkan keprihatinannya karena banyak kepala daerah yang tersandung hukum, terlibat kasus dugaan tindak pidana korupsi. Salah satu wujud praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang paling banyak dilakukan adalah penyimpangan pengadaan barang dan jasa.
Pada pengadaan barang dan jasa, modus korupsi yang sering ditemukan antara lain pengadaan fiktif, kelebihan pembayaran, kekurangan volume pekerjaan, spesifikasi barang/jasa tidak sesuai kontrak, rekanan tidak menyelesaikan pekerjaan dan pemahalan harga (mark up).
Kepala LKPP Agus Prabowo menyatakan prihatin karena banyak Kepala Daerah kena kasus korupsi dalam pengadaan barang atau jasa. Ia pun berharap semua kepala daerah dapat menyadari bahwa proses pengadaan adalah hal yang penting, dan jangan sampai ketika sudah terjerat kasus hukum mereka semua baru sadar.
"Jadi reformis atau tidaknya suatu daerah, reformis atau tidaknya seorang kepala daerah itu akan tercermin dari bagaimana daerah atau kepala daerah itu menghandle pengadaannya. semakin transparan pengadaannya, maka kedua hal itu akan semakin reformis," kata Kepala LKPP Agus Prabowo dalam acara Temu Nasional Pengadaan Barang dan Jasa 2016 dengan tema "Reformasi Kelembagaan Pengadaan Barang/Jasa Bebas Intervensi" di Jakarta, Jumat (28/10).
Ia pun menghimbau agar setiap kepala daerah tidak melakukan intervensi terkait penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa. Panitia pengadaan barang dan jasa juga semestinya bisa terbebas dari intervensi siapapun, termasuk kepala daerahnya.
Meskipun belum optimalnya perlindungan hukum untuk panitia barang dan jasa agar terbebas dari intervensi pihak manapun, Agus menghimbau agar setiap panitia penyelenggara pengadaan barang dan jasa menggunakan e-katalog ataupun e-purchasing dalam prosesnya.
Menurutnya, dalam mengatasi masalah perlindungan hukum, kalau pendekatannya legalitas tentunya cukup rumit dan melelahkan. Jadi harus melalui pendekatan dengan cara lain, yakni pendekatan dengan menggunakan sistem.
"Memang masalah hukum ini kerap terjadi atau sering diganggu kalau kasusnya itu lelang. Setiap kali lelang risikonya pasti digerecokin. LKPP pun mengalami hal yang sama, tapi kalau kita pakai sistem yakni e-katalog atau dengan e-purchasing, yang gerecokin ini akan sulit masuknya. Jadi kalau pakai sistem apanya yang mau diganggu, barangnya sudah ada, harganya sudah terbuka, penyedianya sudah siap, kita tinggal klik saja, jadi gunakanlah sistem ini," ujarnya.
Sepanjang periode Januari-Mei 2016, tercatat 13.527 paket pengadaan dengan nilai transaksi lebih dari Rp 9 triliun dilakukan melalui e-purchasing. Angka ini dipercaya akan bertambah seiring dengan proses belanja pemerintah. Sebagai catatan, total belanja pemerintah melalui e-purchasing tahun 2015 adalah Rp31 triliun.
Agus juga menegaskan bahwa dengan menggunakan sistem akan mengatasi masalah perlindungan hukum yang belum memadai dalam kasus pengadaan barang/jasa pemerintah.
Kepala LKPP juga menganjurkan agar disetiap daerah dibentuk sebuah badan yang akan menjadi kepanjangan tangan LKPP sehingga kinerja pengadaan barang dan jasa di daerah menjadi optimal.
"Memang sebaiknya punya satuan kerja (satker) di daerah, kami juga memang berpikir seperti itu, tetapi kan perlu persiapan. Kalau sudah ada badan atau satker di daerah, si badan itu nanti bisa bermetamorfosa, berevolusi menjadi oragannya LKPP di daerah," kata Agus.
Meski masih ada kepala daerah yang melakukan intervensi terhadap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, tambah Agus, kecenderungan intervensi saat ini cenderung menurun, terutama di daerah atau Kementerian/Lembaga yang sudah memiliki Unit Layanan Pengadaan yang permananen.
"Kita lihat contohnya, kota Surabaya,Pemprov DKI, mereka sudah lebih baik dalam sistem pengadaannya. Nah LKPP ingin semua daerah menerapkan hal ini, dengan membuat badan atau unit layanan pengadaan yang bisa menjadi kepanjangan tangan dari LKPP," pungkasnya.