Pengamat: Tax Amnesty, Babak Baru Perpajakan Indonesia

:


Oleh Amrln, Jumat, 12 Agustus 2016 | 10:54 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 674


Jakarta, InfoPublik - Kontroversi merupakan hal yang biasa dalam suatu kebijakan tax amnesty, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Walaupun kontroversial, sebagai suatu kebijakan, tax amnesty telah banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia, baik oleh negara maju maupun berkembang.

Sampai saat ini, sudah 31 negara menjalankan tax amnesty. Bahkan Amerika Serikat, dari total 50 negara bagiannya, 90 persen atau 45 negara bagian pernah menerapkan tax amnesty.

Demikian disampakan pengamat perpajakan Darussalam dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Jakarta Editor Media Forum dengan tema "Tax Amnesty & Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi" di Jakarta, Kamis (11/8).

Darussalam menambahkan bahwa kebijakan tax amnesty yang diterapakan oleh suatu negara tentu ada yang sukses dan tentu juga ada yang tidak berhasil.

“Lantas, ketika ada negara yang tidak berhasil, apakah kita menolak tax amnesty? Tentu tidak serta merta, justru dari negara yang gagal tersebut diambil pengalaman mengapa mereka gagal. Jadi, tidak ada yang aneh dalam diri tax amnesty. Kebijakan tax amnesty merupakan awal dari reformasi pajak secara menyeluruh, yang diikuti dengan reformasi UU PPh, PPN, dan KUP, untuk menuju babak baruperpajakan Indonesia,” jelas Darussalam.

Ia memaparkan, tax amnesty dipandang sebagai jalan keluar bagi wajib pajak (WP) yang selama ini belum patuh untuk menjadi patuh.

Ketidakpatuhan jangan selalu dilekatkan dengan kesengajaan. Ketidakpatuhan bisa disebabkan berbagai hal. Diantaranya, ketidaktahunan, implikasi masih terdapatnya beberapa ketentuan pajak yang tidak berkeadilan dan berkepastian hukum, atau "rejim" masa lalu yang membuat menjadi tidak patuh. 

Salah satu justifikasi pembenaran tax amnesty ketika di suatu negara sebagian besar WP-nya tidak patuh. Ini terjadi juga di Indonesia, di mana WP yang tidak patuh dalam menyampaikan surat pemberitahunan (SPT) Tahunan berkisar 40%-48% dalam 4 tahun terakhir.

“Angka itu dapat saja membengkak kalau tingkat ketidakpatuhan tersebut dikaitkan dengan kebenaran material,” ujarnya.

Sebagai suatu terobosan, lanjut Darussalam, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menggulirkan kebijakan tax amnesty.

Pertama, akan adanya pertukaran informasi data keuangan secara otomatis antar negara untuk tujuan pajak. Per 17 Juni 2016, sudah terdapat 101 negara yang berkomitmen untuk berbagi informasi keuangan, 55 negara di tahun 2017 dan 46 negara di tahun 2018.

Dalam konteks di atas, Vokhid Urinov (2015) memandang tax amnesty sebagai masa transisi menuju era keterbukaan informasi keuangan untuk tujuan pajak.

“Kita tidak bisa membayangkan kalau tidak ada tax amnesty, dengan tingkat ketidakpatuhan pajak sekitar 40 sampai 48 persen, seberapa banyak WP yang akan terjerat sanksi. Di sinilah perlunya uluran tangan pemerintah melalui tax amnesty,” katanya.

Kedua, rencana transformasi Ditjen Pajak menjadi lembaga yang semi independen langsung di bawah presiden. Adanya transformasi kelembagaan ini, menjadikan Ditjen Pajak mempunyai diskresi lebih dalam hal organisasi, sumber daya manusia, dan keuangan. Pesan yang harus disampaikan adalah pasca-transformasi kelembagaan ini, perilaku WP akan mudah terdeteksi.

Namun kita juga tidak menutup mata, tax amnesty tentu juga dapat mengakibatkan ketidakpatuhan jika WP berharap ada lagi tax amnesty di masa yang akan datang.

“Untuk itu, telah terdapat pernyataan tegas dari pemerintah bahwa tax amnesty yang digulirkan saat ini adalah yang terakhir dan tidak akan pernah ada lagi tax amnesty jilid berikutnya,” pungkasnya.