:
Oleh Baheramsyah, Selasa, 19 Januari 2016 | 17:29 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 417
Diantaranya yaitu menyebar isu pupuk bersubsidi yang dipalsukan. "Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, tapi janganlah mencari keuntungan dengan mempengaruhi petani dengan menyebar kabar tidak benar," ungkap Gamal di Jakarta, Selasa (19/1).
Menurut Gamal, upaya LSM menyebar isu yang tidak benar tersebut bisa dikategorikan tindak pidana, karena merusak salah satu penyuplai pupuk bersubsidi.
“Tindak tegas segala sesuatu yang tidak jelas. Apalagi mengatakan ada pupuk palsu. Yang berhak menyatakan palsu atau bukan adalah labolatorium bukanlah LSM,” tegasnya.
Terbukti, berdasarkan penelusuran di lapangan bahwa pupuk yang bersubsidi bukanlah pupuk palsu. Hal ini karena sebelum pupuk tersebut disalurkan ke petani, PT Sucofindo selaku perusahan yang bergerak dibidang riset yang dilengkapi oleh labolatorium sudah melakukan pengujian terhadap pupuk yang dituding palsu itu.
Jika LSM menganggap bahwa pupuk bersubsidi tersebut palsu dengan alasan pupuk tidak langsung larut jika diaduk dengan air, tidak berdasar. Karena memang seperti itu karakteristik pupuk perkebunan.
Berbeda dengan karakteristik pupuk untuk tanaman pangan yang memang harus langsung larut dengan air. Hal ini karena usia tanaman pangan hanya semusim atau sekitar 3-6 bulan saja, sedang tanaman perkebunan usianya mencapai tahunan.
Pupuk untuk tanaman perkebunan terutama untuk pengakaran tanaman perkebunan itu memang harus slow release. Hal ini bertujuan agar pupuk dapat terserap maksimal oleh tanaman perkebunan yang sifatnya tahunan.
Karakteristik pupuk yang slow release adalah tidak terjadi penguapan dan hanyut bersama aliran permukaan. Dengan begitu tidak terjadi pemborosan dalam penggunaan pupuk. “Maka memang seharusnya pupuk untuk perkebunan mempunyai sifat yang slow release,” terang Gamal.
Hal tersebut dibenarkan oleh pakar agronomi dari IPB Sugianta. Ia juga menambahkan bahwa baik tidaknya mutu pupuk tidak ditentukan dari warna pupuk, melainkan kandungan di dalamnya yang harus diuji di lab. “Perbedaan warna pupuk merah dengan cokelat tidak serta mununjukan pupuk itu palsu atau tidak,” tambah Sugiyanta.
Secara terpisah, Koordinator Pendamping Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan Aleksander mengatakan, bagaimana suatu pupuk dikatakan palsu jika ternyata pupuk tersebut malah dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Terbukti, berdasarkan catatan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan bahwa telah terjadi peningkatan produktivitas di Kabupaten Luwu dari yang semula hanya 500 kg/hektar/tahun menjadi 1 ton/hektar/tahun. Artinya melalui pupuk bersubsidi telah ada peningkatan produksi.
Menurut Aleksander, penyaluran pupuk ke Kabupaten Luwu bersamaan penyalurannya dengan daerah lain. Bahkan dalam penyaluran atau ekspedisi ke kelompok-kelompok tani disaksikan oleh anggota DPRD. Artinya jika ada pupuk palsu di satu daerah maka pupuk yang disalurkan ke daerah lain juga palsu.
“Ini artinya tidak ada fakta bahwa pupuk bersubsidi tersebut palsu. Bahkan sebelum penyaluran pupuk bersubsidi tersebut sudah di uji oleh Sucofindo sebelum diturunkan ke petani,” tutur Aleksander.
Hal senada dikatakan Kapolres Luwu AKBP Adex Yudiswan. Menurutya, jika LSM ingin mengatakan bahwa terdapat pupuk palsu harus ada pembuktiannya terlebih dahulu. Sebab palsu atau tidaknya suatu barang perlu ada pengujian. Bahkan LSM tidak bisa dibenarkan mengklaim sebuah pupuk dinyatakan palsu.
Lebih lanjut Adex mengatakan, dalam suatu kemasan sebuah pupuk, sebelum disalurkan pasti dalam kemasannya tertera komposisi dan tanda SNI. Artinya suatu barang bisa dikatakan palsu jika, pertama isi di dalam kemasan tidak sama atau diganti dengan isi yang berbeda.
Kedua, jika isi di dalam kemasan komposisinya tidak sama dengan yang tertera pada kemasan. Atau dosisnya dikurangi dengan dosis yang seharusnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, mengingat Indonesia adalah negara hukum, maka segala sesuatu yang bisa merugikan suatu pihak lain baik individu atau perusahaan bisa di proses secara hukum. Melihat hal ini maka LSM tersebut bisa dikenakan pelanggaran in material atau pencemaran nama baik.
“Bisa saja LSM tersebut dikenakan tindak pidana jika LSM tersebut tidak bisa membuktikan secara pengujian dari pihak labolatorium. Sehingga dalam hal ini LSM tidak bisa mengklaim ini barang palsu,” pungkas Adex.