Belajar dari Kegagalan

:


Oleh Taofiq Rauf, Senin, 31 Mei 2021 | 07:56 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 979


Jakarta, GPRNews - Pembangunan lumbung pangan nasional di sejumlah daerah terus dikerjakan. Di Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatra Utara misalnya, pemerintah memperluas lahan tanam dari 215 hektar menjadi 1.000 hektar pada tahun ini.

Alat-alat traktor modern dikerahkan untuk mengolah tanah. Infrastruktur pendukung seperti jalan dan irigasi dibangun. Warga pun dilibatkan dalam pembersihan lahan dari gulma dan alang-alang. Ke depan, Humbang Hasundutan akan menjadi andalan pangan nasional untuk tanaman hortikultura seperti bawang merah, bawang putih, dan kentang.

Pada Februari lalu, petani di Humbahas sudah menikmati panen perdana. Hasilnya cukup memuaskan untuk sebuah lahan baru. Bawang merah menghasilkan enam ton per hektar dan kentang mencapai 13 ton per hektar.

Di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pemerintah juga mengebut pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Pemerintah mengerjakan jalan-jalan penghubung menuju daerah food estate seperti di Desa Gadabung dan Belanti. Dengan akses yang semakin lancar ini diharapkan, petani bisa lebih cepat dan mudah untuk memasarkan produknya. Food estate juga dikerjakan di Gunung Mas Kalteng, dan di Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada Maret lalu, Hutan Gunung Mas sudah ditanami bibit singkong.

Untuk pengembangan singkong atau ubi kayu berada di bawah tanggung jawab Kementerian Pertahanan. Pada 2021, Kemenhan menargetkan penanaman singkong hingga seluas 30 ribu hektar.

Mengapa Kemenhan dilibatkan dalam penanaman ubi kayu? Ini karena singkong dapat mendukung cadangan pangan strategis nasional. Dari singkong bisa dibuat beragam macam produk turunan seperti tepung mocaf dan tapioka. Oleh karena itu, lumbung pangan yang menjadi program andalan dalam ketahanan pangan nasional ini tidak hanya berbicara beras, namun juga bahan pangan lain.

Belajar dari kegagalan program lumbung pangan terdahulu, maka pengerjaannya kali ini dilakukan secara terintegrasi dari hulu hingga hilir. Pembangunan infrastruktur jalan, dan sistem irigrasi menjadi keharusan. Kemudian yang tak kalah penting adalah pendampingan ahli untuk teknik penyebaran benih pemupukan, sampai dengan masa panen. Pendampingan dilakukan agar produksi padi di sana bisa memperoleh hasil maksimal. Dari mulai pengolahan tanah, penyebaran benih unggul, sampai dengan teknik pemupukan.

Pemerintah pun turun langsung dengan membentuk posko atau sentra di lokasi lumbung pangan. Masukan-masukan dari petani didengar karena mereka yang lebih paham mengenai ekosistem di sana.

Terobosan baru yang dilakukan pemerintah adalah dengan menggandeng offtaker (penampung) seperti halnya di Humbang Hasundutan. Offtaker ini yang nantinya menampung hasil pertanian milik petani. Sejumlah perusahaan-perusahaan besar pun telah siap untuk menjadi penampung.

Offtaker ini berbeda dengan makelar. Hubungan offtaker dan petani bersifat saling menguntungkan. Hasil dari petani dibeli langsung oleh penampung dengan harga bersaing. Sebaliknya makelar menjadi pihak ketiga yang cenderung memainkan harga untuk kepentingannya sendiri.

Pemerintah juga mendorong penerapan skema bisnis petani di Pulang Pisau dan Kapuas. Petani yang tergabung dalam Gapoktan diharapkan bisa mengembangkan bisnis pertanian dari mulai penjualan benih, penyewaan traktor, hingga alat panen.

Dengan pembangunan yang melibakan lintas sektoral dan secara terintegrasi inilah diharapkan food estate benar-benar akan terbangun dan memberikan kesejahteraan bagi petani. Food estate menjadi andalan dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Seperti disampaikan Bung Karno dalam peletakan batu pertama kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1952. “Soal persediaan makanan rakyat ini, bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan. Kalau tidak, kita akan mengalami celaka.” (redaksi)

Baca dan download lengkapnya di: http://www.gprnews.id/books/llps/