Kontroversi Privasi WhatsApp

:


Oleh Taofiq Rauf, Senin, 8 Maret 2021 | 08:34 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 823


Jakarta, GPR News - Sudah dua pekan terakhir, Asih Setiawuri (39 tahun), mulai menggunakan aplikasi perpesanan BiP. Ia mengunduh aplikasi buatan perusahaan Turki tersebut di playstore sebagai alternatif pengganti platform sebelumnya, WhatsApp.

"Saya unduh karena untuk mengikuti salah satu grup kesehatan yang pindah dari WhatsApp ke BiP," ujar Asih ketika berbincang dengan GPR News, Minggu (31/1).

Dikatakannya, salah satu alasan grup itu bermigrasi adalah faktor keamanan. Mereka khawatir data-data perbincangan dan informasi penting direkam. Hal ini menyikapi dari kebijakan WhatsApp (WA) yang wajib meminta pengguna menyetujui prasyarat berbagi data dengan media sosial Facebook. Jika tidak maka akun WA pengguna terancam dihapus. Kebijakan ini belakangan ditangguhkan oleh pihak WhatsApp

Menurut Asih, secara umum, penggunaan BiP dan WhatsApp tak jauh berbeda. Salah satu kekurangannya BiP, tak fasilitas status. Namun BiP punya keunggulan dalam pengiriman foto atau video, kapasitasnya lebih besar. "Kalau soal cepat ya tergantung dari sinyal jaringan internet," ujarnya.  

Tak hanya BiP, aplikasi perpesanan Telegram dan Signal juga menjadi opsi lain dari pengguna gawai. Abdul Darda, pengusaha di Banten, termasuk yang menggunakan Telegram. Ia memakai Telegram untuk menyesuaikan dengan klien. "Lebih ke permintaah dari klien," ujarnya kepada GPR News.

Darda juga mengunduh aplikasi BiP yang lagi-lagi untuk berkomunikasi dengan kliennya. “Ada yang minta BiP dan juga Telegram.”

Pengguna bereaksi

WhatsApp menjadi bahan perbincangan setelah mengeluarkan kebijakan terbaru pada awal tahun 2021.  Tak hanya di Indonesia, tapi juga berbagai belahan di dunia. Gerakan boikot WhatsApp bahkan sempat mengalir di lini masa.

Pihak WhatsApp telah mengklarifikasi persoalan ini dan menegaskan bahwa data pengguna aman. Kebijakan ini hanya dilakukan untuk membantu Facebook dalam menjalankan layanan, mendukung keselamatan, keamanan hingga integritas. Bahkan data pengguna akan digunakan untuk pemasaran dan interaksi bisnis.  

“Jika Anda khawatir pesan pribadi digunakan untuk menargetkan iklan di WhatsApp maka itu tidak akan terjadi karena di simpan dienkripsi. Pembagian data pengguna untuk Facebook di gunakan untuk meningkatkan layanan iklan di seluruh perusahaan,” dikutip di Layanan WhatsApp.

Begitu juga soal informasi pengguna dalam melakukan kegiatan di akun media sosial WhatsApp. Untuk hal ini, perusahan berbagi peran dengan pihak ketiga dan Facebook. Namun, “Kami tidak membagikan pesan pengguna kepada Facebook,” ujar WhatsApp.

Seperti diketahui bahwa fitur aplikasi chatting ini dilengkapi dengan sistem enkripsi end-to-end.  Artinya setiap kegiatan dalam perpesan, seperti mengirim lokasi, aktivitas telepon tidak ada siapapun yang akan mengetahui isi dari percakapan tersebut.  “Perusahaan tetap mengedepankan sistem enkripsi end-to-end, jadi tidak ada pihak manapun yang akan membacanya,” tulis manajemen WhatsApp.

Dikatakan jika telah lama kebijakan pembagian data dengan induk perusahan Facebook dilakukan. Sistem berbagi ini bertujuan untuk menampilkan iklan Facebook yang lebih relevan. Adapun informasi yang dibagikan yaitu, informasi pendaftaran, termasuk nomer telepon, transaksi, interaksi antarpengguna, dan perangkat seluler.

Kemudian bila WhatsApp mengalami merger, secara otomatis maka data pengguna yang berada dalam akun tersebut akan berpindah tangan sesuai dengan transaksi dan undang-undang perlindungan data.

“Jika kami terlibat dalam merger, akuisisi, restukturisasi, kebangkrutan, atau penjualan semua atau sebagaian aset kami, kami akan membagikan informasi Anda dengan entitas penerus atau pemiliki baru sehubungan dengan transaksi tersebut sesuai dengan undang-undang perlindungan data pribadi yang berlalu,” sambungnya.

WhatsApp mengakui membagikan informasi data pribadi secara global, baik secara internal maupun dalam perusahan-perusahaan Facebook, maupun secara eksternal para mitra penyedia layanan, data ini akan disimpan dan diproses di Amerika Serikat sesuai dengan letak perusahaan dan mitra-mitra perusahaan.

Dibatalkan

Sementara itu,  WhatsApp membatalkan kebijakannya untuk menghapus akun pengguna yang tak setuju atas kebijakan privasi pada 8 Februari 2021. WhatsApp menyatakan akan meninjau kembali kebijakan tersebut.

"Kami juga akan berusaha lebih baik lagi untuk meluruskan misinformasi seputar privasi dan keamanan di WhatsApp. Kemudian secara bertahap kami akan memberi tahu pengguna untuk meninjau kebijakan tersebut sebelum opsi bisnis yang baru tersedia pada tanggal 15 Mei 2021," tulis manajemen WhatsApp dalam situs resminya.

Namun nasi seperti sudah menjadi bubur. Di berbagai negara, kebijakan WhatsApp membuatnya harus berurusan dengan pemerintah setempat. Seperti di Turki, gerakan uninstal WhatsApp digerakan langsung oleh pemerintahan Erdogan.

Kantor media Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Kementerian Pertahanan telah meminta kepada jurnalis agar tak lagi memakai WhatsApp.  “Kantor kepresidenan akan memindahkan grup WhatsApp ke aplikasi pesan terenskripsi BiP,” tulis kantor media seperti dilansir oleh Bloomberg, Rabu (10/1).

Namun sejumlah aktivis justru mengkritik langkah pemerintah Turki karena dinilai hanya untuk membungkam perbedaan pendapat. Seperti diketahui BiP merupakan satu satu unit bisnis perusahan operator telekomunkasi Turki, Turkcell. 

Tak hanya Turki, Pemerintah India telah meminta WhatsApp untuk mencabut kebijakan privasinya. Lewat  suratnya ke pimpinan WhatsApp Will Cathcart, Kementerian IT India telah menyatakan kekhawatirannya soal implikasi dari kebijakan berbagai data tersebut terkait kebebasan atau hak autnomi rakyat India. “Karena itu kami meminta ke WhatsApp agar menarik proposal tersebut.”

India juga mencoba mengklarifikasi ke WhatsApp,  mengapa kebijakan mereka tak berlaku untuk Eropa dan Inggris. Sementara di India tidak ada opsi selain untuk menyetujui. 

Pakar keamanan IT Alfons Tanujaya mengatakan, apa yang hendak dibagikan oleh WhatsApp bukan percakapan data. Namun yang di-share atau dibagikan ke Facebook bersifat metadata. “Tapi juga jangan dianggap sepele metadata ini karena bisa mengantarkan Trump jadi presiden,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring “Banyak Pengguna Tinggalkan WhatsApp, Apa Telegram & Signal Lebih Aman?" pada Rabu (20/1).

Menurut Alfon dengan membagikan metadata ini, maka pihak perusahaan dapat mengetahui siapa teman pengguna, grup apa saja yang diikuti, hingga seberapa intens percakapan komunikasi. Nanti semua itu akan membentuk suatu pola.

“Kalau sehari dua hari mungkin tak masalah, namun bila setahun hingga dua tahun mereka bisa mengambil kesimpulan yang akurat,” ujarnya. 

Sejauh ini Facebook beralasan data digunakan untuk mendongkrak iklan. Namun bukan tidak mungkin data pribadi tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Pada 2019, sebanyak 267 data pengguna Facebook bocor di internet.  Kebocoran data ini diungkap oleh peneliti cybersecurity Bob Diachen. 

WhatsApp sebagai penguasa pasar aplikasi perpesanan dunia kini harus mulai mewaspadai ancaman dari pesaingan mereka.  Seperti dilansir South China Morning Post mengutip riset Sensor Tower, dari 21 Desember sampai 3 Januari 2021 tercatat 1,9 juta pengguna mengunduh WhatsApp. Namun yang perlu dilihat adalah pesaing-pesaing dari WhatsApp. Aplikasi perpesanan Signal telah diunduh 1,5 juta kali dari 4-17 Januari. Angka itu meningkat 50 ribu persen dari dua pekan sebelumnya. Di Indonesia pengunduhan aplikasi Telegram juga meningkat 64 persen pada periode sama. Peningkatan juga teradi pada aplikasi perpesanan Turki BiP. (Redaksi)

 

Baca rubrik lainnya di Majalah GPR News di:

https://komin.fo/AnginSegarBansos

atau download versi lengkapnya di:

https://komin.fo/anginsegarbansos