Membasmi Hoaks Kala Pandemi

:


Oleh Taofiq Rauf, Kamis, 4 Februari 2021 | 15:08 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 685


Jakarta, GPRNEWS - Perjuangan berbagai elemen bangsa bersama pemerintah tak hanya dilakukan untuk melawan virus jahat corona. Tetapi juga untuk melawan satu virus lainnya yang tak kalah jahatnya yaitu hoaks. Berasal dari kata hoax yang berarti bohong, beraneka ragam informasi dan pesan yang tidak pernah terbukti kebenarannya telah kadung beredar di masyarakat. Hal itu terjadi selama fase pandemi Covid-19 hampir setahun terakhir ini atau sejak pertama kali Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 mengumumkan terjangkitnya warga Indonesia oleh virus corona.

Data Kementerian Komunikasi dan Informasi mengungkapkan, hingga November 2020 saja sudah ada lebih dari 2.020 konten menyesatkan berkategori hoaks terkait pandemi corona berhasil dideteksi. Sebanyak 1.759 konten di antaranya mampu dilumpuhkan atau di-take down.

Adapun sebaran hoaks yang dimaksud adalah 1.497 konten di platform media sosial Facebook, 20 di Instagram, 482 di Twitter, dan 21 di Youtube. Sementara sebaran hoaks yang sudah di-take down ada sebanyak 1.300 konten di Facebook, 15 di Instagram, 424 di Twitter, dan 29 di Youtube. Sedangkan sisanya sebanyak 261 hoaks yang tersebar di Facebook (197 konten), Instagram (5 konten), Twitter (58 konten), dan Youtube (1 konten). 

Menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kominfo, Prof. Dr. Widodo Muktiyo dalam sebuah seminar daring di Jakarta belum lama ini, sebanyak 90 persen konten hoaks yang disebarluaskan secara sengaja di tengah masyarakat melalui ranah maya sebagai alat propaganda. "Berita bohong yang muncul di ranah digital itu memang disengaja, artinya secara sadar dilakukan demi mengacaukan informasi sesungguhnya," kata Widodo.

Guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Solo ini mengatakan bahwa hoaks yang tersebar telah membangun keresahan dan kesalahpahaman tentang bagaimana berhadapan melawan virus corona. Jika tidak segera ditangani, dampak dari hoaks ini akan berakibat fatal bagi kesehatan dan aspek-aspek lainnya.

Ia justru khawatir, hoaks ini jika tidak diberantas justru akan menutupi informasi nyata dari penanganan virus Covid-19. “Karena itu untuk menangkal disinformasi akibat hoaks ini, perlu adanya peran pemerintah untuk memastikan informasi yang diterima masyarakat tersebut sesuai dengan fakta dan tidak menyesatkan,” kata Ketua Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional Antara ini.

Kementerian Kominfo selaku humas pemerintah, menurut Widodo, telah melakukan sejumlah langkah strategis termasuk selalu memasok informasi-informasi terbaru setiap saatnya mengenai penanganan virus Covid-19. Semua jenis platform media sosial turut digunakan untuk melakukan kampanye positif tadi.

Selain itu, Kementerian Kominfo juga melakukan pendekatan literasi digital, yakni memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai ruang digital dan interaksi yang ada di dalamnya melalui Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi.

Tindakan tegas

Pihak Kementerian Kominfo melakukan sejumlah upaya untuk menangani konten berpotensi hoaks seperti melakukan pengujian fakta dalam bentuk verifikasi data dari informasi yang masuk ke beberapa pihak. Jika dari hasil verifikasi itu ditemukan ketidakbenaran dari informasi tadi maka kementerian akan memberikan “stempel” hoaks terhadap konten tersebut.

Widodo mengatakan, pihaknya terus bekerja keras untuk mengidentifikasi dan menyusun klarifikasi atas hoaks yang beredar di masyarakat. Termasuk menggandeng Kepolisian RI untuk menindak tegas para pelaku penyebar hoaks. Langkah hukum ini dilakukan jika hoaks tadi telah meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum termasuk berpotensi menimbulkan kegaduhan dan keonaran bagi masyarakat.

Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, sejak 30 Januari hingga 30 November 2020 saja, polisi telah memproses hukum 104 orang terkait penyebaran berita bohong mengenai penanganan Covid-19 ini. Dari jumlah sebanyak itu, sebanyak 14 kasus hoaks ditangani oleh Polda Metro Jaya. Demikian dikatakan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Pol Argo Yuwono, akhir November 2020 lalu.

Argo mengatakan bahwa dari 104 orang yang dijadikan tersangka, sebanyak 17 di antaranya telah ditahan. Ia juga merinci, bahwa dari banyak kasus penyebaran kabar bohong oleh para oknum, umumnya terdiri dari informasi seputar isu kematian seseorang akibat Covid-19, namun yang bersangkutan justru tidak terpapar dan dalam kondisi sehat.  

Selanjutnya, polisi juga menangani kasus penyebaran hoaks Covid-19 tanpa informasi resmi. Bahkan, para tersangka juga kerap menyebarkan isu adanya warga negara asing (WNA) yang membawa virus mematikan itu ke Indonesia. Kasus lainnya adalah penghinaan terhadap pejabat negara dan penyebaran berita bohong tentang pemerintah, ujar Argo.

Aparat pun menjerat para tersangka dengan Pasal 28 dan Pasal 45 Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik. Selain itu para penyebar berita bohong tadi juga dijerat dengan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 16 UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Peran masyarakat

Perang melawan virus hoaks selama pandemi tak hanya dilakukan oleh pemerintah saja. Sejumlah elemen masyarakat pun ikut terpanggil untuk ikut mencegah penyebaran hoaks melalui konten-konten berisi kampanye kreatif untuk menghindari virus Covid-19. 

Jaringan Pegiat Literasi Digital atau Japelidi misalnya. Komunitas yang terdiri dari 168 pengajar dan peneliti dari 78 perguruan tinggi di 30 kota ini terpanggil untuk ikut menyuarakan hal-hal baik terkait pencegahan Covid-19. Japelidi pun ikut mengambil bagian sebagai garda penangkal isu-isu menyesatkan atau hoaks terkait virus yang telah menjangkiti di lebih dari 100 negara ini.

Ketika virus mulai merebak di Indonesia, para pegiat Japelidi langsung bergerak. Mereka mencari dan memproduksi beragam informasi akurat terkait Covid-19, kemudian menuangkannya ke dalam bentuk video dan poster edukatif bagi masyarakat. Langkah ini dilakukan untuk mengimbangi banjirnya hoaks yang menyesatkan warga mengenai Covid-19 saat itu. Termasuk membuat materi berupa konten digital bertema Jaga Diri dan Jaga Keluarga dalam 42 bahasa daerah. Menurut Koordinator Japelidi, Novi Kurnia, hal ini mereka lakukan agar pesan-pesan moral itu lebih mudah dipahami masyarakat yang majemuk.

Untuk menyebarkan konten-konten berbahasa daerah tersebut, Japelidi selain mengaktifkan platform media sosial seperti Twitter dan Instagram, juga menggandeng dengan berbagai lembaga. Misalnya dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) dan Komunitas Berbeda Itu Biasa.

Novi tak menyangka dengan sambutan masyarakat terhadap kampanye positif melawan Covid-19 yang didengungkan Japelidi. "Banyak warga yang meminta kepada kami untuk dikirimkan file poster digital kampanye Jaga Diri Jaga Keluarga untuk mereka cetak secara mandiri dan dibagikan atau ditempel di berbagai tempat sebagai pengingat kepada sesama," kata Novi yang juga Ketua Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Gajahmada ini.

Seperti halnya Japelidi, sejumlah anak muda dari beberapa komunitas pun ikut tergerak untuk melawan Covid-19. Dimotori oleh sutradara Eugene Panji, penulis Dharmaji Suradika, Salman Subakat dan praktisi kehumasan Sasa Ratna Puspita pada 28 Oktober 2020 mendeklarasikan gerakan Cegah dan Tanggung Jawab atau Centang sebagai bentuk kampanye protokol kesehatan. "Kita dapat bersatu dan bersama-sama mengambil bagian nyata, mulai dengan turun ke lapangan menjadi relawan, mendonasikan dana untuk menyebarluaskan gerakan secara masif. Centang juga menyediakan materi-materi kreatif sehingga masyarakat mau melakukan Centang dengan cara menyenangkan," kata Sasa.

Jangan terjebak

Lalu bagaimana agar terhindar dari penyebaran kabar bohong? Pemerhati komunikasi digital Lestari Nurhajati membeberkan sejumlah tips. Semua diawali dengan tindakan analisa berupa deteksi awal apakah informasi yang diterima oleh masyarakat dari berbagai platform media sosial yang diikuti sudah sesuai dengan peristiwa riilnya. Dari analisa ini sebuah kabar bohong dapat dideteksi dari pola kalimat yang provokatif dan cenderung berisi informasi berlebihan.

"Biasanya kabar hoaks bercirikan ditulis dengan banyak huruf kapital, memakai tanda seru dan diakhiri dengan perintah untuk memviralkan," kata dosen Institut Komunikasi dan Bisnis London School of Public Relation ini. Tidak sampai pada tahap analisa saja. Lestari juga meminta masyarakat untuk melakukan cek dan ricek sekaligus verifikasi terhadap kabar hoaks yang mereka terima.

Cara sederhana untuk melakukan verifikasi adalah mencari tahu informasi dari kabar hoaks itu dengan informasi lainnya. Cek sumber fakta yang dapat dipercaya seperti melalui media massa resmi kemudian periksa kembali kebaruan dari informasi tadi.

Tahapan berikutnya dari cara mencari tahu kebenaran sebuah informasi dibandingkan dengan hoaks adalah jangan terburu-buru membagikan informasi yang baru saja diterima. "Pastikan betul bahwa pesannya benar-benar penting dan tidak berisiko sebagai informasi menyesatkan. Jika sudah melakukan cek dan ricek serta ditemukan indikasi bahwa berita yang kita terima berkategori hoaks, maka jangan didiamkan saja. Tetapi segera ingatkan si pengirim pesan dan bagikan informasi klarifikasinya dari sumber-sumber yang terpercaya," kata Lestari.

Baca rubriknya lain di :

https://komin.fo/vaksinasicovid-19