Turunkan Emisi GRK, Indonesia Prioritaskan Tata Kelola Ekosisitem Karbon Biru

:


Oleh lsma, Senin, 8 Agustus 2022 | 16:56 WIB - Redaktur: Untung S - 173


Jakarta, InfoPublik - Tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia menitikberatkan perencanaanya sesuai dengan prinsip berkelanjutan, agar ekosistem karbon biru berkontribusi lebih banyak dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), J. Rizal Primana, mengatakan jika ekosistem karbon biru Indonesia ditata dan dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, Indonesia pasti bisa berkontribusi lebih banyak dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030.

Untuk itu, lanjut Rizal, sudah saatnya ekosistem karbon biru (blue carbon) menjadi prioritas utama dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir di Indonesia maupun global.

Apalagi, mangrove dan padang lamun dapat menyerap dan menyimpan karbon alami (carbon sink) yang sangat besar dalam waktu yang sangat lama, bahkan lebih banyak dari hutan terestrial.

"Nah, kita harus berpacu juga untuk menjaga dan merehabilitasi ekosistem karbon biru kita yang semakin terdegradasi," jelas Rizal dalam Seminar, Blue Carbon: Enabling Conservation and Financial Capital di Nusa Dua Convention Centre, Bali, (8/8/2022).

Sebagai catatan, luas padang lamun di Indonesia termasuk terluas di dunia hingga 293.465-875.957 Ha, dan mampu menyerap karbon hingga 119,5 ton karbon per hektare. Begitu pun dengan mangrove Indonesia yang seluas 3,3 juta Ha adalah terbesar di dunia, dan mampu menyimpan karbon sebanyak 950 ton karbon per hektarnya.

Namun luas padang lamun di Indonesia, menurut hasil kajian Pusat Riset Oseanografi Indonesia dalam Buku Status Ekosistem Lamun di Indonesia 2021 disebutkan ekosistem ini mengalami penurunan sebesar 2,8 persen per tahun atau sekitar 0,4 ha per tahun pada periode 2015-2021.

Sementara mangrove Indonesia, dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) menyebutkan kurang lebih seluas 637.824,31 Ha (19,28 persen) berada pada kondisi kritis.

"Ke depan, kita ingin memastikan ekosistem Karbon Biru bisa masuk NDC (Nationally Determined Contribution). Tentu saja harus melalui perencanaan pembangunan Karbon Biru yang berkelanjutan, dan harus didukung komitmen semua pihak. Untuk mencapai ini diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat mengakomodasi semua pihak," kata Rizal.

Direktur Kelautan dan Perikanan, Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti menambahkan, pembangunan karbon biru erkelanjutan harus mengedepankan upaya perlindungan dan kelestariannya dengan berbasis masyarakat. Guna mendukung upaya tersebut diperlukan mekanisme pembiayaan sehingga dapat berkontribusi terhadap pencapaian target NDC.

"Saat ini ada beberapa opsi pembiayaan untuk kegiatan yang berkaitan dengan karbon biru selain dari APBN. Itu bagus, karena mengandalkan APBN saja tidak akan cukup untuk mencapai target NDC in," ujar Sri Yani.

Ke depan, lanjut Sri Yanti, Indonesia ingin mengintegrasikan framework yang akan disusun, dan memastikan pembiayaan untuk keberlanjutan pembangunan Karbon Biru ini. Apalagi kita punya potensi karbon biru yang besar sebagai potensi sumber modal yang baik.

"Karena itu kita perlu juga mendengar pengalaman-pengalaman negara lain yang telah menjalankan dan sukses dalam pembangunan Karbon Biru mereka," jelas Sri Yanti.

Deputy Country Director Agence Francaise De Developpement (AFD) untuk Indonesia, Sophia Chappellet yang menjadi salah satu pembicara menyampaikan bahwa AFD mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam pengelolaan ekosistem karbon biru, salah satunya melalui kegiatan pengintegrasian ekosistem karbon biru ke dalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim Indonesia.