Bernostalgia Sambil Nikmati Makanan Tradisional di Pasar Papringan Temanggung

:


Oleh MC KAB TEMANGGUNG, Senin, 24 Februari 2020 | 16:59 WIB - Redaktur: Juli - 603


Temanggung, InfoPublik - Areal rumpun bambu atau biasa disebut sebagai Papringan seluas 2.500 meter persegi di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah ramai dikunjungi orang. Angin yang bertiup lembut menggoyang rumpun bambu mengganti suasana pagi menjadi lebih segar dan ceria.

Sesuai pasaran jawa, hari itu adalah Minggu Wage, tepat gelaran ‘Pasar Papringan'. Pasar Papringan memang digelar dua kali dalam sebulan, yakni tiap Minggu Wage dan Minggu Pon.

Sebagian pengunjung yang datang hanya duduk-duduk di batang pohon bambu besar di bawah rumpun bambu sembari menikmati es dawet, nasi megono, atau sekadar nyeruput kopi dan menikmati camilan. Ada pula yang bergerombol di bawah rumpun bambu untuk sekadar ngobrol dan menikmati makanan bersama keluarga dan rekan-rekannya. Banyak pula yang sibuk mengambil foto diri dengan latar belakang rumpun bambu.

Pasar Papringan dibentuk dan dikelola oleh sekelompok anak muda Dusun Ngadiprono yang tergabung dalam Komunitas Mata Air. Sebuah komunitas yang peduli pada upaya konservasi lingkungan. Mereka tidak sendiri dalam upaya konservasi rumpun bambu, mereka mendapat bantuan dan pendampingan dari pihak lain.

Adalah Singgih Kartono Susilo, seorang warga Kecamatan Kandangan, Temanggung bersama timnya dari Komunitas Spedagi didaulat menjadi pendamping sekaligus konsultan bagi Komunitas Mata Air dalam mengelola Pasar Papringan.

Sebelumnya, Singgih bersama timnya pernah membuat gelaran Pasar Papringan yang sama di desanya, Kandangan. Namun, diakui Singgih, gelaran Pasar Papringan di desanya tersebut hanya berlangsung selama sembilan kali gelaran dalam kurun waktu sekitar satu tahun.

Singgih menceritakan, semula Komunitas Mata Air memang memintanya agar didampingi membuat gelaran Pasar Papringan untuk memanfaatkan areal rumpun bambu di desa itu. Sebagian area rumpun bambu semula digunakan sebagai lokasi pembuangan sampah. “Kami mendampingi komunitas lokal mata air, anak-anak muda lokal yang masih sangat muda. Tapi mereka punya inisiatif. Mereka punya papringan yang bagus dan potensial," kata Singgih.

Upaya pendampingan dilakukan sejak awal, dari proses penataan rumpun bambu, sosialisasi, memberikan edukasi pada warga Dusun Ngadiprono, hingga menyeleksi bahan-bahan dan makanan yang akan dijual serta mengelola parkir.

Ide dasar gelaran Pasar Papringan ini, diakui Singgih, merupakan upaya untuk menghidupkan masa depan dalam masa lalu. Papringan ada dalam masa lalu warga desa yang saat ini sudah hampir ditinggalkan. Tempat yang semula dianggap kotor, bahkan membuat masyarakat merasa malu memilikinya. Pihaknya bertekad menemukan masa depan pada masa lalu tersebut. "Pasar Papringan ini sebenarnya masa lalu. Sesuatu yang mereka ingin lupakan, sesuatu yang mereka ingin tinggalkan, sesuatu yang ingin mereka buang karena papringan adalah tempat yang sangat tidak diinginkan,” katanya.

Padahal, dari pengetahuan yang ada, papringan atau rumpun bambu adalah material yang amat berharga bagi kehidupan. Papringan juga merupakan penghasil oksigen terbagus dan terbesar. Papringan hanya dimiliki daerah perdesaan di Indonesia, dimana tumbuhan bambu mengelompok membentuk rumpun. Berbeda dengan di Cina dan tempat lainnya, pohon bambu tumbuh menyendiri tidak hidup dalam koloni. Kondisi rumpun bambu yang tumbuh dan berkembang di perdesaan ini menjadi aset yang berharga.

Selain ingin menunjukkan betapa berharganya kebun bambu pada masyarakat melalui pendekatan kreatif, ia ingin masyarakat desa setempat bisa merasakan suasana riang tiap kali ada gelaran pasar, juga menikmati manfaat ekonomi dari Pasar Papringan, dengan demikian akan tumbuh kecintaan pada kebun bambu milik mereka dan timbul kesadaran untuk merawatnya.

Project Manager Pasar Papringan, Fransisca Callista, mengatakan, tiap kali gelaran Pasar Papringan ini selalu dikunjungi ribuan orang. Mereka tak hanya datang dari sekitar Kabupaten Temanggung saja. Banyak pula yang dari luar kota, seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Magelang.

Tak hanya pada Minggu Wage dan Minggu Pon areal kebun bambu itu ramai dikunjungi orang. Tiap hari Minggu di luar dua pasaran itu banyak warga Dusun Ngadiprono yang datang melakukan berbagai kegiatan, antara lain kerja bakti membersihkan sampah dan daun-daun kering, juga menata kembali rumpun-rumpun bambu.

Imam Abdul Rofiq, Ketua Komunitas Mata Air, mengatakan, para pemuda desanya yang menyulap area pembuangan sampah itu dengan menata kebun bambu menjadi Pasar Papringan guna mengkonservasi rumpun bambu sekaligus menghidupkan wisata di desanya.  

Ia menjelaskan, Pasar Papringan menempati areal seluas 2.500 meter persegi milik beberapa warga desa. Tiap pemilik lahan menerima uang sewa Rp10.000 per pelapak per satu kali gelaran pasar. Sedikitnya ada dua puluh pelapak di lokasi tersebut. Mereka semua adalah warga Dusun Ngadiprono.

“Barang kerajinan, sayuran, makanan dan minuman yang dijual di Pasar Papringan telah melalui proses seleksi, sehingga terjamin kualitasnya,” kata dia. 

Pembeli yang datang dan akan berbelanja mesti menukar uangnya dengan uang pring atau uang yang terbuat dari bambu. Pengunjung juga tidak boleh menggunakan bungkus dari plastik untuk barang-barang dan makanan yang dibelinya. Untuk itu, pihak panitia menyediakan keranjang dan besek atau wadah berbentuk kotak yang terbuat dari anyaman bambu.

“Hasil dari Pasar Papringan ini, 20 persennya dari retribusi masuk ke kas desa. Lainnya masuk ke kantong warga sendiri yang berjualan di Pasar Papringan,” katanya.

Yuliana (34 th), pedagang nasi megono mengaku merasakan manfaat ekonomi yang sama. Tiap kali gelaran, ia mendapat hasil sekitar Rp700 ribu hingga Rp800 ribu. (MC.TMG/Tosiani/Ekape)