Pentingnya Tata Fungsi dan Kelembagaan Peraturan Perundangan

:


Oleh lsma, Jumat, 15 Februari 2019 | 11:27 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Jakarta, InfoPublik - Kementerian PPN/Bappenas bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tahun lalu telah melakukan Background Study Reformasi Regulasi dengan pendekatan evidence based policy dalam rangka penyusunan RPJMN Teknokratik 2020-2024.

Sejumlah permasalahan mendasar dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia ditemukan di dalam Background Study dan telah disampaikan saaat Media Briefing Reformasi Regulasi di Kementerian PPN/Bappenas pada Rabu (6/2) lalu, yaitu: (1) sinkronisasi kebijakan dan regulasi pusat dan daerah yang belum optimal, (2) absennya monitoring dan evaluasi, (3) perencanaan regulasi yang tidak optimal, (4) disharmoni dalam penyusunan regulasi, serta (5) lemahnya peran kelembagaan dan minimnya penguatan sistem pendukung.

“Melalui Background Study, kami rekomendasikan pembentukan lembaga yang fokus padaperaturan perundang-undangan. Hal ini semakin memperkuat rekomendasi kami dalam Strategi Nasional Reformasi Regulasi mengenai restrukturisasi kelembagaan perumus kebijakan dan pembentuk regulasi. Urgensi pembentukan lembaga ini juga telah saya sampaikan saat Media Briefing Reformasi Regulasi di Kementerian PPN/Bappenas. Melihat kewenangan regulasi masih tersebar di empat K/L dan memiliki potensi disharmoni yang tinggi, kita perlu lembaga pengelola regulasi yang dapat mengintegrasikan dan memperkuat kewenangan lembaga yang ada. Lembaga pengelola regulasi ini akan fokus pada penyusunan dan pembentukan regulasi yang sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional,” jelas Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro sebagai pembicara kunci pada Seminar Nasional Agenda Reformasi Regulasi: Menata Fungsi dan Kelembagaan Sistem Peraturan Perundangan Indonesia, di Jakarta, Rabu (13/2).

Upaya implementasi Reformasi Regulasi dalam menata fungsi dan kelembagaan dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sangat mendesak. Dengan adanya agenda tersebut, pembentukan pengelola regulasi harus dipahami sebagai upaya penataan fungsi, sehingga tidak mengarah kepada pembubaran K/L atau unit tertentu, tetapi merelokasi atau menggabungkannya dalam satu kesatuan.

Hasil Background Study menunjukan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang tersebar di banyak K/L masih lemah, sehingga tidak ada otoritas kuat yang dapat membuat kebijakan dari hasil monitoring dan evaluasi secara menyeluruh, bukan hanya sekadar per peraturan saja. Fungsi terpusat harmonisasi atau perencanaan hanya bersifat koordinatif dan fokus pada kewenangan teknis, sehingga apabila ada kendala tidak memiliki otoritas kuat untuk segera menyelesaikannya.

Lembaga pengelola regulasi harus dapatmemastikan perencanaan regulasi dan pembangunan sinkron, meredakan ego sektoral dalam pemberlakuan perundang-undangan, serta memastikan tidak hiper regulasi dan saling tumpang tindih, sehingga dengan kualitas regulasi yang baik dapat memberikan kepastian hukum sekaligus mendukung pencapaian target pembangunan.

Memasuki era industri 4.0, lanjut Menteri Bambang, kebutuhan regulasi harus sejalan dan mampu mendorong kemajuan teknologi yang berkembang pesat sehingga memberikan stimulus positif pada sektor-sektor pembangunan. Pemerintah diharapkan tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator dan akselerator sehingga regulasi yang dibentuk dapat memberi ruang bagi Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakatuntuk melakukan inovasi. Misalnya masalah transportasi online di Indonesia, Pemerintah harus terus update kebijakan dan regulasi yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat tanpa mematikaninovasi pelaku usaha dan lapangan pekerjaan.

“Untuk itu, inovasi kebijakan sangat diperlukan. Integritas dan sinergitas kebijakan dan regulasi juga menjadi kunci pembenahan dan perbaikan ini, dan perlu kita pahami bersama bahwa tidak semua kebijakan harus menjadi regulasi,” tuturnya.

Sejak 2015, Kementerian PPN/Bappenastelah menginisiasi agenda Reformasi Regulasi. Pada 2016-2017, Kementerian PPN/Bappenas mengawal simplifikasi regulasi dengan fokus pada bidang perizinan, investasi, tata niaga ekspor dan impor, dan kemudahan berusaha. Keempat fokus dipilih karena berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang salah satunya diindikasikan dengan peringkat Ease of Doing Business (EODB) Indonesia. Pada 2016, simplifikasi regulasi menghasilkan 324 regulasi dicabut, 75 regulasi direvisi, serta sebanyak 19 regulasi beririsan dengan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) dari total 20 K/L. Sementara pada 2017, simplifikasi regulasi menghasilkan 106 regulasi dicabut, 91 regulasi direvisi, dan 237 regulasi digabung menjadi 30 regulasi dari total 21 K/L. Pada 2018, Kementerian PPN/Bappenas bersama UPH-IEALP melakukan kajian simplifikasi regulasi dengan Regulatory Impact Analysis (RIA)terhadap 29 regulasi dari total 48 regulasi di bidang UMKM.

Berdasarkan hasil kajian, permasalahan utama yang terjadi adalah lemahnya koordinasi regulasi terkait usaha kecil yang tersebar ke dalam 23 K/L, sehingga peraturan perundang-undangan terkait UMKM tidak efektif serta menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha.

Untuk itu, penataan regulasi juga harus sejalan dengan KRISNA e-planning, sehingga Pemerintah dapat melakukan cut loss budget pada tahapan perencanaan berbasis pada sinergi kebijakan regulasi. Menindaklanjuti hasil background study, Kementerian PPN/Bappenas berupaya memanfaatkan teknologi informasi.

“Kami akan mengoordinasikan sistem teknologi informasi di bidang hukum untuk mendukung pelaksanaan Reformasi Regulasi yang berbasis machine learning dan artificial intelligence serta diperkuat dengan perhitungan Cost and Benefit Analysis dan Regulatory Impact Analysis. Sistem ini berfungsi untuk mengidentifikasi sinergi kebijakan dan regulasi, klasifikasi regulasi dengan pemetaan K/L yang terlibat pada sektor pembangunan, serta keterkaitan antar regulasi,” pungkasnya.