:
Oleh MC KAB SERDANG BEDAGAI, Senin, 20 Februari 2023 | 10:51 WIB - Redaktur: Kusnadi - 885
(Sebuah cerita menyongsong Hari Pers Nasional 2023)
Oleh : Drs Akmal AP MSi
Sergai, InfoPublik - Seseorang duduk di pojok salah satu kedai kopi di pusat kota kecamatan. Orangnya tidak terlalu tua, namun juga tidak muda. Yah, bukan kategori anak milenial-lah. Berpakaian rapi dan terlihat begitu sopan, jika dilihat dari cara duduk dan berpakaiannya. Aku memperhatikan dari tempat dudukku, pria itu memesan teh jahe dan roti bakar dengan bahasa yang lembut, tenang, dan sopan. Tentunya curi-curi pandang, sebab aku perhatikan gerak-geriknya tanpa sepengetahuannya. Lalu aku melihat dia membuka telepon genggamnya (ponsel) dan perhatiannya terfokus pada benda pintar yang digemari oleh setiap orang. Sembari menatap layar ponselnya, ia kerap memperhatikan siapa saja orang yang berkunjung ke kedai kopi tersebut. Duduk di pojok tentu sangat leluasa baginya memperhatikan setiap orang yang datang.
Persepsiku terhadap pria ini adalah orang yang penuh kehati-hatian dan tak banyak bicara, walaupun dia duduk berdua dengan temannya. Pembicaraan mereka sepertinya tidak banyak, sesekali saja berbicara dan mengobrol. Dia lebih banyak mendengarkan apa yang dibicarakan oleh lawan bicaranya sembari mengangguk dan mencermati pembicaraan dari lawan bicaranya itu.
Ku lihat dari kejauhan sembari menikmati teh susu jahe dan pulut dengan selai durian, pria itu lebih banyak diam dan mendengar dari pada berbicara.
Selagi terbuai memperhatikan sang pria tersebut, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sapaan dan memukul bahu kiriku. "Plaaaak..hai bro..! sudah lama nunggu ?", tegurnya dengan ramah dan akrab. Dia adalah sahabatku sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang memang sudah janjian kami berjumpa di kedai kopi ini. "Hai bro, belum lama paling baru 15 menitlah, ayoo mari duduk dan silakan pesan," jawabku lantas mempersilahkannya duduk berhadapan dalam satu meja.
Sejenak aku melupakan perhatian kepada pria rapi dan sopan yang duduk di pojok kedai. Aku disibukkan dengan obrolan bersama sohibku waktu SMP. Obrolan kami panjang-lebar, ngalor-ngidul tanpa ada satupun yang pegang ponsel. Kami serius seperti orang yang membicarakan hal serius diselingi senyuman dan tawa. Itulah memang kebiasaan kami jika bertemu, ngobrol tanpa ada seorang pun yang sibuk dengan telepon genggamnya. Terlibat obrolan sampai habis topik yang dibicarakan.
Merasa cukup dengan obrolan tadi, kami pun bersepakat untuk sama-sama menghentikan obrolan dan sama-sama ngobrol sambil pegang dan lihat gawai masing-masing. "Bro, sekarang ini kita harus lebih berhati-hati dalam bermedsos," ucapnya kepadaku dengan sedikit serius. Dia pun melanjutkan celotehannya, "sekarang ini semua orang sibuk berbicara, menulis, dan membuat status di medsos, yang tak perlu dibuat itupun di-share, seperti tak ada remnya. Keluh kesah, sumpah serapah, menghina, dan bahkan mengungkapkan aib pun sepertinya sudah menjadi hal yang biasa", sebutnya dengan ekspresi wajah sedikit serius.
Aku menanggapinya dengan serius pula, "maklumlah, namanya juga medsos, begitulah netizen sekarang ini bro, betul itu seperti tak ada rem, bahkan mengabaikan logika, etika dan estetika". Lanjutku lagi, "berbicara pun sesuka-hatinya, macam dia saja yang paling tahu dan pintar,” ucapku di tengah suasana santai di kedai kopi yang punya menu khas roti bakar dan pulut panggang dengan selai durian.
Sambil menikmati kudapan yang tersaji, sesekali aku melirik pria yang rapi dan sopan duduk di pojok kedai di depanku, persis arah jam 9 bersama temannya. Terlihat memang, pria tersebut sedikit bicara, jika pun berbicara nampak sekali dia memikirkan dulu apa yang akan dibicarakannya. Sepertinya tidak mengumbar pembicaraan yang tak berguna dan tak diketahuinya.
Tak terasa memang sudah hampir satu jam kami ngobrol kongkow-kongkow berdua dengan teman SMP ku itu. Ia pun sempat nyeletuk, "bro dalam menjaga hubungan komunikasi dan bermedsos, ada baiknya kita tidak sembrono dan semestinya berhati-hati. Jangan sampai orang lain sakit hati atau tersinggung dengan status kita", serunya, sambil mengunyah makanan ia berujar, "lebih baik diam jika tak paham," ucapnya.
Akupun pun mendengarkan dan sesekali mengangguk tanda setuju apa yang dia ucapkan. Lalu dia berkata, "bro, jangan kita berbicara menyangkut apa yang tidak kita ketahui. Begitu juga jangan kita menulis atau membuat status di medsos terkait sesuatu yang tidak pula kita ketahui. Lebih baik diam dan mendengarkan", dia berkata sambil menyirup teh jahe segar di hadapannya. Lagi-lagi akupun mengangguk pertanda sepakat dan meng-iya-kan apa yang diucapkannya barusan.
“Terus apalagi bro biar aku paham", kataku minta penjelasan lagi. Dia pun melanjutkan wejangannya dan berkata, "demikian juga bro, jangan semua yang kita ketahui kita bicarakan atau tuliskan, jadi batasilah pembicaraan apatah lagi tulisan status di medsos yang tak berfaedah".
Sambil mendengarkan, aku pun mencuri pandang akan pria yang duduk di pojok kedai kopi tadi. Sepertinya apa yang diungkapkan temanku ini persis keadaannya dengan pria yang duduk di pojok kedai kopi ini. Orangnya tak banyak bicara bahkan lebih banyak diam dan mendengarkan lawan bicaranya. Walaupun sesekali dia berbicara, tapi sepertinya yang dibicarakannya adalah apa yang dia ketahui dan sangat hati-hati serta berfikir dulu baru berucap.
Tak salah dugaanku di awal, dengan pakaian rapinya dan tutur kata yang sopan serta ketenangannya menunjukkan dia adalah orang yang berkualitas. Untuk kedua kalinya aku dikejutkan lagi oleh teman SMP ku ini, dengan nada suara sedikit keras dia berteriak kepada pemilik kedai kopi, "bang, berapa ini semua, biar aku bayar", cetusnya sambil mengeluarkan uang seratus ribu dari sakunya. Kami pun bergegas meninggalkan kedai kopi ini melanjutkan aktivitas masing-masing. "Oke ya bro, sampai jumpa lagi, salam sama keluarga", bilangnya. Aku pun menyambutnya dengan salam dan berjabat tangan, "oke bro terima kasih obrolan kita hari ini", sambil mengucapkan dan saling menjawab salam kami pun berpisah. Sekian.
Penulis adalah Kepala Dinas Kominfo Kab Serdang Bedagai