:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Jumat, 24 September 2021 | 12:36 WIB - Redaktur: Kusnadi - 2K
Oleh : Dr. Johansyah, MA *)
Beberapa waktu terakhir, kita mungkin pernah mendengar istilah smart city, atau kota cerdas. Apa itu kota cerdas? Beberapa sumber menjelaskan bahwa Kota Cerdas adalah kota yang menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan performance-nya, mengurangi biaya dan pemakaian konsumsi, serta untuk terlibat lebih aktif dan efektif dengan warganya. Sedikitnya ada tiga faktor yang berpengaruh dalam Kota Cerdas, yaitu cerdas ekonomi, cerdas sosial, dan cerdas lingkungan. Kota Cerdas (smart city) juga didefinisikan sebagai kota yang mampu menggunakan SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat (Caragliu, A., dkk dalam Schaffers,2010:3). Smart city atau kota cerdas merupakan wilayah kota yang telah mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam tata kelola sehari-hari dengan tujuan untuk mempertinggi efisiensi, memperbaiki pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan warga. Kota cerdas merupakan sebuah visi pengembangan perkotaan untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi dan teknologi Internet of things dengan cara yang aman untuk mengelola aset kota. (wikipedia).
Terlepas dari basis teknologi informasi dalam membangun smart city, jika kita kembali pada era madinah ketika Rasulullah SAW masih hidup, maka kota cerdas ini pada era dulu sepadang dengan masyarakat madani, yakni masyakarat yang berperadaban.
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu untuk stabilitas masyarakat. Inisiatif individu dan masyarakat akan berpikir, seni, pelaksanaan pemerintah oleh hukum dan tidak nafsu atau keinginan individu. Pengertian lain dari masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Jika dikorelasikan dengan konsep masyarakat cerdas, mungkin penekanannya hanya pada aspek penggunaan teknologi informasi di segala lini, dan ini pula yang menjadi cirikhas dari era revolusi industri 4.0. Baik masyarakat maupun pemerintah harus siap bergulan dalam persaingan global dengan memanfaatkan teknologi informasi. Dengan ungkapan lain, siapa yang menguasai teknologi informasi, dialah yang akan bersaing.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya laju teknologi memang tidak dapat terbendung. Namun demikian, penguasaan teknologi informasi juga tidak menjadi indikator bahwa sebuah negara itu maju. Memang berdasarkan konsep smart city yang dikembangkan, meskipun arahnya buka sekedar pada pengintegrasian segala lini kehidupan dengan internet, namun dominasi internet adalah hal yang nyata dan tidak mungkin dihindarkan lagi.
Ada indikator kemajuan lain dari sebuah negara yang patut kita perhatikan dan sejatinya dijadikan landasan utama dalam membangun kualitas masyarakat dari berbagai aspeknya. Landasan utama yang dimaksud adalah karakter dan perilaku masyarakat. Hal ini jangan sampai kabur seiring dengan berkembangnya pula post truth. Terus terang, dalam Islam kebenaran itu tidak boleh abu-abu atau dibuat abu-abu dan jangan sampai hanya gara-gara teknologi kebenaran itu menjadi abu-abu.
Aspek akidah dan akhlah dalam membangun smart city merupakan hal mendasar yang tidak mungkin diabaikan. Mungkin kalangan pengembang teknologi menganggap hal ini konyol. Tapi akan sangat konyol jadinya jika landasan ini diremehkan. Pada akhirnya teknologi hanyalah media, sementara penentu teknologi menjadi hal yang bermanfaat atau mudharat adalah manusianya. Sementara manusianya itu sangat bergantung pada kapasitas jiwanya (iman dan ilmunya) dalam kecerdasan memanfaatkan teknologi itu sendiri.
Marilah kita belajar dari negeri Saba’ yang diceritakan oleh al-Qur’an. Sebuah negeri yang dianugerahi dengan nikmat yang melimpah. Tanahnya subur, dan kehidupan masyarakatnya makmur. Hal ini digambarkan dalam al-Qur’an; “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. (QS. Saba’: 15).
Dalam sejarahnya negeri itu kemudian hancur. Capaian demi capaian yang telah mereka raih seketika lenyap begitu saja. Berdasarkan cerita al-Qur’an bahwa sebab-sebab kehancuran negeri Saba adalah karena mereka kufur terhadap nikmat Allah SWT. Nikmat yang banyak itu tidak mereka syukuri dan mereka tidak mau menyembah Allah SWT. Negeri yang awalnya sangat subur atau disebut baldatul thayyibatun warabbun ghafur, lantas berubah menjadi negeri yang kering dan tandus.
Hal ini digambarkan dalam salah satu firman-Nya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nahl: 112-113).
Smart city dengan basis teknologi dalam pemajuan sebuah kota adalah hal yang positif dan tentu harus disokong oleh semua kalangan serta partisipasi aktif berbagai pihak. Namun harus diingat, membangun kota cerdas dengan basis tekonologi bisa jadi akan meningkatkan tarap hidup masyarakat. Namun seperti negeri Saba, manusia-manusia modern yang tidak terinstall dengan nilai-nilai budaya dan agama ke dalam jiwanya, bisa jadi akan menjadi manusia buas, hedonis, dan hampa spiritual. Dia hanya memikirkan duniawi, dan keuntungan demi keuntungan ekonomi. Dia sama sekali tidak terbeban batin kalau harus melakukan penipuan demi mendapatkan keuntungan, karena penipuannya berbasis teknologi di mana orang-orang tidak menyadarinya sebagai sebuah penipuan. Hal ini belum lagi bicara soal teknologi dalam pendidikan, politik, dan berbagai sektor lainnya.
Artinya, konsep smart city tidak cukup dengan mengandalkan basis teknologi, bahkan di era yang lebih canggih dari era saat ini sekalipun. Basis agama dan budaya (kearifan lokal) adalah basis utama dan abadi yang harus terus ditempel untuk mengawal jiwa dan akal budi manusia agar tetap pada rel kebaikan dan kemaslahatan. Wallahu a’lam bishawab!
*) Dosen STIT Al Washliyah Takengon, Pegawai Dinas Syariat Islam Kabupaten Aceh Tengah, Pengamat dan Pemerhati Pendidikan, Sosial dan Keagamaan.