:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Senin, 26 Juli 2021 | 12:43 WIB - Redaktur: Kusnadi - 1K
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)
Kebijakan Pemerintah untuk meminimalisir sebaran Covid-19 melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) baik yang berbasis mikro maupun pemberlakukan dalam sekala besar, juga berdampak pada pengaturan kinerja pegawai negeri atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada daerah-daerah yang dinilai sebaran covidnya cukup parah atau masuk kategori Zona Merah, maka pemberlakuan Work For Home (WFH) merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar, kecuali untuk layanan yang sifatnya urgen dan emergency. Sementara pada Zona Oranye, WFH bisa diberlakukan 90 persen dan 10 persennya masih bisa dilakukan secara Work For Office (WFO), dan untuk level dibawahnya (zona kuning dan hijau), pemberlakukan WFH dan WFO bisa disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Yang kemudian menjadi fenomena saat ini, hampir semua wilayah baik dalam skala provinsi maupun kabupaten/kota, hampir semuanya berstatus zona merah atau zona oranye, hanya menyisakan sedikit zona kuning dan bahkan sudah tidak ada lagi zona hijau, karena dampak penyebaran covid sudah merata ke seluruh pelosok negeri. Dengan kondisi demikian, WFH kemudian menjadi satu-satunya pilihan untuk diterapkan bagi instansi pemerintah, sesuai dengan perkembangan penyebaran covid di masing-masing daerah. Artinya pada saat berstatus zona merah atau oranye, WFH menjadi satu-satunya pilihan, namun itu bisa berubah jika status daerah turun menjadi zona kuning, atau bahkan kembali menjadi zona hijau.
Pertanyaan yang timbul sekarang, efektifkah pelayanan ASN kepada publik dengan sistem WFH ini? Tentu saja jawabannya sangat beragam, tergantung dengan sistem pelayanan, kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia ASN dan yang paling utama adalah mental dan integritas ASN.
Untuk daerah yang belum sepenuhnya menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik dan masih mengandalkan pelayanan secara manual, penerapan WFH ini tentu tidak efektif dan berpotensi menghambat pelayanan publik. Tapi Kondisi ini tidak berlaku bagi daerah yang sudah terbiasa menerapkan sistem pelayanan digital, dimana penyedia dan pengguna layanan tidak harus bertemu untuk meminta atau memberi akses pelayanan. Apalagi jika semua sistem layanan sudah tertata dalam sistem aplikasi online yang sudah berjalan dengan baik, tentu saja WFH bukan menjadi kendala berarti dalam pelayanan kepada publik.
Begitu juga dengan sistem kerja para ASN, dampak dari WFH terhadap kualitas pelayanan kepada publik yang dilakukannya, sangat tergantung dari kebiasaan, kapasitas dan kualitas sumberdaya manusianya, serta tentunya yang lebih penting adalah etos kerja, mental dan integritas moral dari ASN yang bersangkutan. Bagi ASN yang terbisa bekerja secara manual dan hanya menunggu perintah, sistem WFH tentu akan menyulitkan dirinya, bahkan mungkin akan timbul anggapan bahwa WFH itu merupakan libur tidak resmi, karena ASN yang bersangkutan tidak tahu apa yang harus dilakukannya di rumah.
Berbeda tentunya dengan ASN yang sudah terbiasa bekerja dengan sistem layanan digital dan sudah familiar dengan berbagai layanan berbasis aplikasi, WFH tentu bukan kendala berati dalam memberikan pelayanan kepada publik, karena pelayanan publik yang berbasis aplikasi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Di tengah pemberlakukan PPKM saat ini, hampir tidak ada keluhan tentang pelayanan publik di daerah-daerah yang sudah mengaplikasikan layanan elektronik dalam pelayanan publiknya. Hal sebaliknya tentunya akan terjadi pada daerah-daerah yang belum sepenuhnya menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik. Di daerah-daerah dengan kondisi demikian, tentu saja pelayanan publik akan mengalami kendala karena sebagian urusan harus diselesaikan secara tatap muka, sehingga pada saat pemberlakukan WFH, ada kendala dalam pelaksanaannya.
Sebagai contoh, dalam penerapan pembelajaran sistem daring di bidang pendidikan, bagi guru yang sudah familiar dengan teknologi informasi, tentu bukan kendala berarti, karena keterampilannya di bidang IT akan sangat membantu dalam pelaksanaan belajar sistem daring. Tapi bagi guru yang tidak memiliki basik keterampilan di bidang IT, ini tentu menjadi kendala yang sangat besar, karena mempelajari sesuatu apalagi yang bersifat teknologi informasi, tidak bisa dilakukan secara instan, sehingga guru yang bersangkutan akan merasa kebingungan, frustasi bahkan stres ketika harus menyiapkan dan menyampaikan materi pembelajaran dari rumah dengan sistem daring.
Begitu juga dengan sistem pelayanan perijinan yang masih mengandalkan pelayanan manual, WFH tentu akan menghambat pelayanan kepada mereka yang membutuhkan. Padahal saat ini, berbagai aplikasi sudah tersedia untuk kemudahan pengurusan bermacam bentuk peizinan, namun belum semua ASN yang betugas menangani bidang tersebut menguasai aplikasi dengan baik, sehingga pelayanan masih tetap mengandalkan sistem manual yang mengharuskan para pihak berkepentingan untuk bertemu langsung. Dalam kondisi pembatasan kontak fisik pada masa penerapan PPKM seperti saat ini, tentu cara tersebut cukup riskan.
Ajang mengasah keterampilan dan kreativitas ASN.
Ketika WFH kemudian menjadi satu-satunya pilihan bagi ASN dalam melakukan pelayanan kepada publik, di situlah dituntut kemampuan adaftatif para ASN untuk menyesuaikan dengan kondisi kekinian, di mana ASN tetap bisa menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sekaligus tetap mematuhi protokol kesehatan.
WFH merupakan aktifitas kerja dengan sentral kegiatan di rumah masing-masing ASN, tentunya manajemen individu sangat dibutuhkan untuk mengelola bidang pekerjaan, selain tetap dibutuhkan koordinasi dengan pimpinan maupun elemen organisasi perangkat kerja dimana dia bertugas. WFH juga ajang untuk menguji disiplin kerja secara mandiri, di mana semua aktifitas kerja yang dilakukannya nyaris tanpa kontrol dan pengawasan langsung, disini para ASN diuji integritas moral dan rasa tanggung jawab terhadap pekerjaannnya.
Bagi ASN yang memiliki integritas moral dan tanggung jawab yang baik, tentunya akan tetap menjalankan tugas pokok dan fungsinya meski secara fisik tetap berada di rumah. Pelayanan publik berbasis layanan online, pada akhirnya menjadi tumpuan bagi ASN untuk tetap bisa mejalankan fungsinya sebagai pelayan publik. Type ASN seperti ini, akan memanfaatkan ‘kelonggaran kerja’ WFH ini justru untuk belajar dan mengasah keterampilan di bidang teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan bidang pekerjaannnya. ASN yang punya intergitas moral yang baik, akan berusaha mengasah kreativitas agar bisa menyesuaikan suasana kerja tanpa kontrol dan pengawasan langsung ini, agar tetap bisa memberikan pelayanan kepada publik meski sedang berada di rumah.
Aplikasi-aplikasi pendukung sistem pelayanan publik berbasis elektronik sudah banyak tersedia dan sangat mudah untuk diunduh dari internet, begitu juga petunjuk pengperasiannya juga dapat dengan mudah didapatkan dengan mengakses link institusi penyedia aplikasi dalam bentuk panduan lengkap. Hanya dibutuhkan kemauan untuk mempelajari kemudian mempraktekkannya untuk mendukung kinerja ASN yang bersangkutan.
Di sinilah akan terlihat etos kerja dari masing-masing ASN, bagi yang sudah terbiasa dengan paradigma lama, akan menyikapinya dengan kebingungan tentang apa yang akan dan harus dilakukannya selama pemberlakuan WFH. Namun bagi ASN yang meiliki etos kerja yang baik, WFH akan menjadi ajang mengasah kreativitas dan meningkatkan keterampilan, khususnya dalam penguasaan teknologi informasi yang sejatinya sangat bermanfaat untuk mendukung kinerjanya pada saat kembali WFO. Kemampuan menguasai teknologi informasi pada era digital saat ini, sudah menjadi keniscayaan bagi semua ASN untuk menguasainya, karena sitem kedepan akan lebih mengandalkan pelayanan berbasis elektronik dan secara perlahan akan meninggalkan sistem manual yang dinilai lambat, berbelit dan bertele-tele.
Jika semua ASN menyadari hal tersebut, maka penerapan WFH ini justru bisa dimanfaatkan sebagai wahana untuk terus belajar, mengasah kreativitas dan meningkatkan keterampilan kerja, sehingga dia akan menjelma menjadi ASN cerdas yang siap melaksanakan tugasnya dengan baik dimanapun dia ditempatkan.
Begitu juga dengan ASN yang punya hobi menulis, WFH ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan menulis, sambil terus melakukan tugas pokoknya dari rumah. Menulis dengan suasana tenang di rumah, bebas dari kebisingan suasan kantor, tentu lebih nyaman dan bisa menghasilkan karya tulis yang berkualitas. Apalagi bagi para ASN yang tugas pokoknya memang terkait dengan penyebarluasan informasi, tentunya kesempatan bekerja dari rumah ini memberi peluang lebih luas untuk terus mengupdate informasi dengan menulis konten berita dan informasi lainnya dari rumah. Bagi ASN dengan bidang pekerjaan seperti ini, WFH tentu bukan kendala, karena update informasi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja karena sudah tersedia jaringan telekomunikasi yang sudah menjangkau seluruh pelosok negeri.
Sejatinya kebijakan apapun terkait dengan sistem kerja ASN, bukanlah kendala untuk tetap menjalankan tugas memberikan pelayanan kepada publik, termasuk kebijakan WFH. Semua tergantung kepada etos kerja, mental dan integritas moral dari masing-masing ASN. WFH jelas bukan libur tidak resmi, hanya perubahan pola dan sistem kerja saja, bagi ASN yang biasa kerja “biasa-biasa saja” boleh jadi WFH menjadi beban mental karena tidak tau apa yang harus dilakukan, atau bahka menyuburkan rasa malas karena merasa terbebas dari pengawasan dan kontrol langsung. Tapi bagi ASN yang punya etos kerja dan integritas moral yang baik, WFH adalah peluang dan ajang untuk mengasah kretativitas yang meningkatkan skill individu yang memang sangat dibutuhkan dalam pengembangan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia ASN. Anda termasuk ASN kelompok mana? Hanya anda sendiri yang bisa menilainya.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah.