:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Senin, 3 Mei 2021 | 12:00 WIB - Redaktur: Kusnadi - 2K
Catatan : Fathan Muhammad Taufiq *)
Begitu disebut nama Gayo, wilayah dataran tinggi yang terletak di bagian tengah Provinsi Aceh, maka yang terbayang di benak orang adalah Kopi Arabika yang memiliki aroma dan rasa spesifik, bukan masyarakat Indonesia saja yang mengenal Gayo Arabica Coffee, tapi kopi Gayo nyaris sudah dikenal di seluruh dunia, gencarnya promosi di media dan seringnya digelar expo kopi, membuat kopi Gayo semakin “mendunia”. Di beberapa negara maju, kopi Gayo menjadi salah satu “high class” coffee yang harganya bisa membuat orang berdecak.
Belakangan nama Gayo juga kembali “mengorbit” dengan ditemukannya berbagai jenis Giok dan batu mulia di daerah ini, potensi alam yang belakangan ini terekspose dan kemudian dieksplorasi, menjadikan Gayo sebagai salah satu penghasil batu giok berkualitas. Batu-batu berkelas seperti nephrite, solar, bio solar, black jade sampai kecubung, banyak tersimpan di bumi Gayo. Lokasi-lokasi yang banyak terdapat batu gioknya menjadi “ladang perburuan” baru bagi para penggemar dan pencari giok.
Padahal, potensi alam gayo bukan hanya Kopi dan Giok saja, masih banyak potensi khususnya di bidang pertanian yang menjadi andalan wilayah dataran tinggi ini. Sesuai dengan agroklimat, elevasi dan topografi wilayahnya, Dataran Tinggi Gayo merupakan “sorga” untuk pengembangan hortikultura terutama sayur-sayuran dan buah-buahan khas dataran tinggi. Sebut saja Kentang (solanum tubersum), Tomat ( lycopersicum esculentum), Cabe (capsicum annum), Kol ( braschia oleavera) dan beberapa jenis sayuran lainnya dapat tumbuh baik di daerah ini. Begitu juga buah-buahan seperti Nanas (ananas commusus), Alpukat (persea americana), Apel (mallus sylvestris) dan berbagai jenis Jeruk (citrus sp) juga merupakan komoditi pertanian yang mudah di jumpai di dataran tinggi Gayo.
Salah satu komoditi pertanian unggulan yang pernah membawa nama harum kabupaten Aceh Tengah sebagai salah satu kabupaten di dataran tinggi Gayo adalah Jeruk Keprok Gayo (citrus nobilis), komoditi pertanian ini pernah menjuarai kontes buah nasional pada tahun 1992 yang lalu. Bahkan pada tahun 2006 yang lalu Kementerian Pertanian telah menetapkan jeruk keprokgayo sebagai buah unggul nasional. Tapi setelah itu, komoditi unggulan ini nyaris terlupakan, padahal ratusan hectare lahan pertanaman jeruk keprok gayo masih tetap eksis sampai sekarang. Fokus petani di dataran tinggi Gayo pada komoditi kopi arabika, nyaris membuat jeruk keprok gayo hanya sebagai tanaman sampingan, padahal nilai ekonomis dari komoditi ini sangat baik. Untuk kualitas super, harganya bisa mencapai 15.000 sampai 20.000 rupiah per kilogramnya, harga yang mampu untuk “mendongkrak” perekonomian petani Gayo.
Keistimewaan dari jeruk keprok gayo ini terletak pada aroma dan rasanya, dibalik kulit luarnya yang agak tebal, jeruk keprok gayo memiliki rasa yang khas yaitu manis bercampur sedikit asam, serta aroma “tajam” yang menggugah selera, rasa dan aroma inilah yang tidak dimiliki oleh jenis jeruk keprok dari daerah lain. Tidak heran jika kemudian Kementerian Pertanian memberikan pengakuan komoditi ini sebagai salah satu komoditi unggul nasional. Melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 210/Kpts/SR.120/3/2006 tanggal 6 Maret 2016, Jeruk Keprok Gayo dinyatakan sebagai komoditi unggul nasional. Bukan sekedar memperoleh pengakuan sebagai komoditi unggul nasional, tahun 2016 lalu,
Jeruk Keprok Gayo juga berhasil mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kementerian Hukum dan HAM. Bupati Aceh Tengah waktu itu, Ir. H. Nasaruddin, MM, bahkan langsung menerima sertifikat IG Jeruk Keprok Gayo ini dari Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Ini artinya, jeruk keprok gayo ini bukan komoditi kaleng-kaleng, karena sudah mendapat pengakuan secara nasional. Jadi sangat disayangkan, jika komoditi yang punya potensi ekonomi sangat bagus ini, hanya dikembangkan sekedarnya, tanpa upaya budidaya secara intensif.
Dari aspek usaha tani, harus diakui bahwa penanaman jeruk keprok gayo di kabupaten Aceh Tengah dan juga Bener Meriah belum dilakukan secara monokultur, tanaman ini hanya ditanam petani di sela-sela tanaman kopi mereka. Demikian juga dari segi perawatan dan pemeliharaan, belum sepenuhnya dilakukan secara intensif, karena masih ada anggapan bahwa tanaman ini hanyalah tanaman selingan yang berfungsi sebagai pelindung dari tanaman kopi.
Itulah sebabnya, areal pertanaman jeruk keprok gayo relatif menyebar, tidak terletak pada suatu hamparan. Dan terbukti, setelaha dilakukan penelitian, bahwa tanaman jeruk yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman kopi, sangat rentan terhadap serangan penyakit jamur akar. Selain bisa tertular dari tanaman kopi yang terinveksi jamur akar, kondisi tanah di sekitar batang jeruk yang kurang mendapatkan penyinaran matahari langsung akibat terhalang rerimbunan daun kopi, menjadi lembab. Dan kondisi tanah yang selalu lembab ini, juga mempercepat pertumbuhan jamur akar yang kemudian menyerang tanaman jeruk.
Belakangan mulai ada petani yang mengusahakan komoditi ini secara monokultur, tapi luasannya masih sangat terbatas, padahal jika komoditi ini di usahakan pada hamparan dengan areal yang luas, akan sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai lokasi agrowisata seperti agrowisata apel yang ada di Batu dan Malang. Dalam beberapa tahun terakhir, di kawasan kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah, sudah mulai ada petani yang mengembangkan jeruk keprok gayo ini secara monokultur dalam satu hamparan tanpa bercampur dengan komoditi lainnya, meski luas arealnya masih terbatas. Dan dari pengakuan petaninya, hasil dari tanaman jeruk yang dia kelola, ternyata tidak kalah dengan hasil dari tanaman kopi. Jika terus dikembangkan luas areal pertanamannya, bukan mustahil, daerah ini akan menjelma menjadi destinasi wisata kebun jeruk yang tentunya akan memberikan tambahan pendapatan bagi petani, bahkan bagi daerah.
Dari data pada dinas teknis terkait, populasi jeruk keprok gayo di dataran tinggi Gayo dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang cukup drastis, selain pola usaha taninya yang belum mengacu kepada pola monokultur, serangan penyakit CVPD (Cytrus Phloem Vein Deviciency) dan Jamur akar, ikut memberi andil menurunnya populasi komoditi unggulan ini. Upaya peremajaan juga terus dilakukan dengan fasilitasi dari instansi terkait, tapi karena pola tanamnya masih mengandalkan pola konvensional, maka perkembangan luas tanam komoditi ini juga agak lamban.
Agaknya diperlukan upaya untuk merubah pola fikir atau mindset dari petani Gayo dalam pengembangan salah satu kooditi unggulan daerah yang telah di akui secara nasional ini. Sinergi semua stake holders terkait sangat diperlukan untuk merubah pola tanam dari pola tumpang sari menjadi pola monokultur, mengingat masih tersedia lahan yang cukup untuk penembangn komoditi ini, tanpa harus “mengganggu” lahan perkebunan kopi yang sudah ada.
Orientasi usaha tani jeruk juga harus dirubah dari pola konvensional yang menganggap jeruk hanya sebagai tanaman sampingan menjadi pola monokultur yang berorientasi agribisnis dan agrowisata. Kehadiran agrowisata jeruk keprok gayo akan semakin “melengkapi” kekayaan wisata dataran tinggi gayo yang memang sejak dahulu sudah terkenal dengan keindahan alamnya itu, apalagi akses transportasi ke daerah erhawa sejuk ini sekarang sudah mulai membaik.
Sebagai daerah yang hampir 80% masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian, sudah seharusnya dilakukan diversifikasi komoditi, sehingga masyarakat tidak hanya menggantungkan perekonomiannya pada sato komoditi saja, tetapi masih banyak komoditi pertanian yang dapat dijadikan penyangga perekonomian masyarakat, apalagi potensi sumberdaya lahan juga sangat memadai. Tentu perlu keseriusan semua pihak agar komoditi yang seduah membawa nama harum dataran tinggi gayo ini bisa terus terjaga keberadaannya, jangan sampai nama harum Jeruk Keprok Gayo nantinya hanya tinggal nama, karena kurangnya upaya untuk melestarikan dan mengembangkan komoditi ini.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabpaten Aceh Tengah dan Peminat Bidang Pertanian.