:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Jumat, 23 April 2021 | 11:12 WIB - Redaktur: Kusnadi - 2K
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq *)
Meski masih dalam suasana ‘prihatin’ karena ujian dari Allah SWT berupa pandemi virus corona belum juga berakhir sampai saat ini, tapi Alhamdullah kita wajib bersyukur masih bisa ketemu dengan bulan penuh rahmat yaitu bulan. Hanya sekali dalam setahun, kita mendapatkan kesempatan ‘emas’ untuk menghapus dosa-dosa kita, kesempatan yang tidak kita dapatkan di bulan-bulan lainnya. Maka dalam kondisi apapun, kita tetap wajib bersyukur masih diberi kesempatan untuk membersihkan diri kita yang tidak pernah lepas dari dosa ini.
Ibadah puasa memang termasuk ibadah “berat” karena harus menahan diri dari makan, minum dan nafsu biologis seharian penuh selama sebulan full, bagi yang tidak terbiasa, ini merupakan ujian yang sangat berat. Dan menjadi lebih berat lagi, karena kita menjalankan ibadah puasa ini dalam kondisi yang tidak biasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini kita berpuasa dalam bayang-bayang wabah mematikan yang sudah merneggut ratusan ribu nyawa di seluruh dunia. Pun demikian kita tidak ingin kehilangan momentum yang hanya diberikan kepada orang-orang beriman ini, tentu kesempatan emas seperti ini tidak boleh kita sia-siakan.
Rasa lapar dan haus itu akan semakin bermakna jika kemudian di iringi dengan berbagai aktifitas ibadah lainnya seperti memperbanyak shalat sunnat, lebih sering membaca dan mengkaji Alqur’an, memperbanyak sedekah, meningkatkan kepedulian kepada sesama dan ibadah-ibadah lainnya yang nilainya tentu jauh lebih baik dibandingkan dengan aktifitas yang sama tapi dilakukan di luar bulan Ramadhan.
Semua aktifitas ibadah yang mengalami grafik menanjak itu, tidak lain adalah untuk menggapai “gelar” kembali kepada fitrah atau kesucian, yang ditandai dengan dihapuskannya dosa-dosa kita sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah SWT si Empunya perintah puasa ini.
Bukti bahwa kita telah kembali kepada fitrah, tentu saja harus dibuktikan dengan aktifitas keseharian kita pasca bulan Ramadan ini, karena kalau tidak terjadi perubahan signifikan terhadap sikap, perilaku dan perbuatan dari tahun sebelumnya, maka kembalinya kita kepada fitrah ini masih perlu dipertanyakan.
Untuk bisa menggapai gelar fitrah itu tentu bukan sesuatu yang mudah, harus ada tekad dan kemauan yang kuat dari dalam diri kita sendiri untuk berubah ke arah yang lebih baik. Meski soal diterima atau tidaknya ibadah puasa yan ibadah lainnya di bulan Ramadhan ini adalah hak prerogatif Allah, namun secara fisik akan tergambar dari aktifitas sluruh anggota badan kita. Karena untuk menjapai fitrah itu, seluruh bagian dari tubuh kita juga harus “dibersihkan”, lalu apa saja bagian atau organ tubuh kita yang harus kita bersihkan dalam bulan Ramadan ini supaya kita mampu kembali kepada fitrah? Marilah kita kaji satu persatu.
Kepala merupakan bagian dari tubuh yang sangat vital, karena di dalam kepala tersimpan otak yang memiliki triliyunan memori yang berfungsi sebagai pengendali syaraf bagi seluruh tubuh. Bagi manusia otak juga disamakan dengan akal atau fikiran, dan inilah yang membedakan anatara manusia dengan makhluk lainnya. Semua perilaku, sikap dan tidakan manusia sangat bergantung dengan kerja otak ini, karena semua gerak dan tingkah manusia dikendalikan dari sini, otak bagi manusia tak ubahnya seperti control processing unit.
Maka untuk kembali kepada kesucian pada saat Idul Fitri, setelah sebulan ditempa dengan ibadah yang lumayan berat, yang perlu “dibersihkan” adalah kepala, otak atau fikiran kita. Tempaan ibadah puasa selama sebulan dengan berbagai aktifitas ibadah, harusnya mampu membuat fikiran kita menjadi bersih dan suci. Secara logika, tidak mungkin kita akan kembali menjadi suci apabila di kepala kita masih dipenuhi fikiran-fikiran kotor, jahat dan sesat seperti ingin menjatuhkan teman yang dianggap saingan, melecehkan sesama, ingin mempertahankan kekuasaan atau jabatan sehingga menghalalkan segala cara, berfikir tidak logis dan fikiran yang dipengaruhi kesyirikan dan pengaruh syetan..
Meski apa yang berkecamuk dalam fikiran kita tidak terlihat oleh orang lain, namun cerminan dari apa yang ada dalam fikiran kita akan selalu terbaca dan terlihat dari sikap, perilaku dan tindakan kita, orang yang punya fikiran bersih maka dia hanya akan melakukan sesuatu yang baik, begitu juga sebaliknya, orang yang punya fikiran kotor, akan cenderung berlaku dan bertindak buruk bahkan jahat. Jadi jangan berharap akan meraih kesucian itu, jika kita belum mampu mebersihkan fikiran kita.
Dada juga merupakan bagian tubuh yang sama vitalnya dengan kepala, karena dalam rongga dada tersimpan oran jantung, paru-paru dan hati, detak jantung yang memompa darah dalam tubuh adalah bukti adanya kehidupan jasadi, begitu juga dengan paru-paru, udara yang keluar masuk ke dalam tubuh dalam bentuk berbeda (masuk sebagai oksigen dan keluar sebagai karbon dioksida) adalah tanda-tanda kehidupan jasmaniah kita, jika nafas sudah terhenti, maka kehidupan dunia seseorang juga sudah berakhir.
Ada satu organ tubuh yang tersimpan di rongga dada yang merupakan penentu baik buruknya kehidupan seseorang, organ tubuh itu bernama hati atau dalam bahasa agama disebut Qalbu. Semua yang tersirat dalam qalbu seseorang akan tercermin dalam sikap dan perilaku orang tersebut. Maka untuk menggapai kesucian Idul Fitri, Hati kita juga harus dibersihkan dari sifat-sifat tidak baik seperti angkuh/sombong, iri, dengki, cemburu berlebihan dan perasaan tidak senang jika melihat orang lain mendapatkan nikmat.
Orang yang sudah memaknai arti kesucian bulan Ramadhan dan Idul Fitri, maka dia akan selalu menjaga hatinya dari sifat-sifat tidak terpuji. Sama seperti otak atau fikiran, apa yang tersirat dalam hati, hanya kita yang tau, tapi apa yang ada dalam qalbu kita itu kemudian akan tercermin dari sikap dan perilaku kita yang dapat dilihat nyata oleh orang lain. Jadi orang yang akan menggapai kesucian di hari fitri, adalah orang yang mampu menjaga hatinya.
Perut merupakan bagian tubuh yang berfungsi sebagai organ pencerna dari semua asupan pangan yang masuk ke dalam tubuh kita, namun karena perut tidak memiliki sensor, maka dia tidak bisa membedakan apakah makanan yang masuk kedalam perut itu baik atau buruk, pokoknya semua yang masuk langsung akan dicerna.
Untuk bisa meraih predikat kembali kepada kesucian, maka kita harus benar-benar menjaga perut kita dari masuknya makanan-makanan yang subhat apalagi haram, baik dari zatnya maupun dari cara memperolehnya. Untuk makanan haram berdasarkan zatnya, itu sudah sangat terang dijelaskan dalam Alqur’an maupun Hadits seperti Babi, Anjing, Darah, Bangkai, Arak, Narkoba dan sesuatu kotor dan membahayakan keselamatan tubuh. Namun yang sering tidak kita sadari adalah makanan yang menjadi haram karena cara memperolehnya yang tidak halal, contohnya kita membeli makanan yang jelas halalnya seperti ikan, daging sapi, sayuran, beras dan sebagainya, secara zat, semua jenis makanan itu halal, tapi akan berubah menjadi haram jika uang yang kita gunakan untuk membeli makanan tersebut berasal dari hasil korupsi, mencuri, mengambil hak orang lain, menipu dan perbuatan buruk sebagainya.
Mungkin orang lain bisa saja tidak tau, bahwa uang yang kita pergunakan untuk memenuhi kebutuhan perut kita itu berasal dari perilaku tidak halal, namun apalah artinya kita berpayah puasa menahan lapar dan haus, kemudian berharap Allah akan menghapus dosa-dosa kita, tapi kita masih terus mengisi perut kita dengan makanan haram. Secuil makanan haram yang masuk ke perut kita, bisa jadi bisa jadi penghalang ibadah kita menjadi tida diterima oleh Allah SWT dan akan semakin jauh kita untuk meraih predikat fitrah.
Kita harus selalu bersyukur, dengan kemahaadilan Allah, kita telah diberikan indra penglihatan berupa mata dan jaringan saraf penglihatannya. Dengan mata, kita dapat menikmati keindahan ciptaan Allah, melihat segala isi dunia ini dengan segala sisinya.
Terkait dengan upaya kita meraih kesucian kita pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri, maka, kita harus mampu membersihkan mata kita dari melihat hal-hal yang dilarang oleh agama apalagi yang bisa memicu perbuatan munkar. Mustahil, kita akan kebali kepada fitrah kita kalu kita belum mampu menjaga mata kita dari melihat hal-hal maksiat yang dilarang oleh agama.
Indra pendengaran berupa telinga juga merupakan karunia Allah yang tidak terhingga, dengan telinga ini, kita akan mampu menerima informasi audio dari luar tubuh kita. Namun demikian, momentum bulan Ramadhan ini harus mampu membuat telinga kita mampu “menyaring” pendengaran dari mendengar hal-hal yang dilarang agama. Kesucian Idul Fitri yang selalu kita harapakan untuk mampu kita raih, harus diiringi dengan membersihkan indra pendengaran kita dari mendengar sesuatu yang tidak baik.
Mulut merupakan organ tubuh yang memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai tempat masuknya asapan makanan atau minuman ke dalam tubuh, dan sebagai alat vocal atau menyampaikan sesuatu lewat ucapan. Sebagai alat bicara, mulut dengan lidahnya sering disebut dengan lisan. Meski bentuknya kecil, tapi lisan merupakan faktor utama dari keselamatan seseorang.
Tak aneh jika kemudian ada yang menggabrakan bahwa lisan itu tajamnya melebihi pedang, jika tidak mampu mengendalikannya, maka akan mencelakakan diri sendiri.
Ibadah puasa yang melatih mulut untuk menahan makan dan minum dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari, sudah semestinya juga menjadi wahana berlatih bagi lisan untuk menjaga dari ucapan-ucapan yang tidak baik yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Tidak mungkin pula kita akan kembali kepada fitrah, jika kita belum mampu membersihkan lisan kita dari ucapan-ucapan buruk, fitnah, cemoohan, makian dan sebagainya yang bisa menyaki perasaan orang lain bahkan mampu menimbulkan perselisihan dan permusuhan yang mungkin saja bisa berakibat fatal.
Momentum pusa juga harus dimanfaatkan untuk menjaga lidah dari berkata bohong, menebar janji-janji manis yang tidak ditepati, menipu dan lain-lainya, karena jika kita belum mampu menjaga kebersihan lisan kita, mustahil kita akan menggapai fitrah di hari fitri nanti.
Tangan merupakan anggota gerak yang berfungsi memindahkan suatu benda dari satu tempat ke tempat lainnya. Jika proses pindah memindah itu berorientasi baik, tentu itu akan mendukung upaya kita untuk membersihkan diri dalam bulan suci ini, misalnya memindahkan sebagian harta kita ke masjid, musholla, panti yatim piatu, fakir miskin dan sebagainya.
Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, misalnya memindahkan harta milik Negara ke rumah kita (korupsi), memindahkan harta milik orang lain ke rumah kita (mencuri), membuat orang lain terluka (berbuat kasar atau mencelakakan orang lain) dan sejenisnya, tentu akan semakin jauh harapan kita untuk menggapai kesucian dibulan penuh berkah ini.
Berharap kembali kepada fitrah tentu harus diiringi dengan menjaga tangan kita dari perbuatan yang tidak baik.
Dua kaki yang kita miliki ini, merupa “sarana pendukung” dari semua aktifitas yang kita lakukan, baik aktifitas yang baik maupun aktifitas buruk. Suatu perbuatan baik atau buruk tidak akan terlaksana jika kaki kita enggan melangkah kesana. Momentum puasa dengan fokus pengendalian diri, juga merupakan momentum latihan bagi kaki untuk melangkah ke tempat-tempat yang mendorong kita untuk berbuat tidak baik, misalnya ke tempat perjudian, tempat mabok-mabokan dan lain-lainya.
Kembali ke fitrah di hari fitri, hanya akan kita raih jika kita mampu menjaga kaki kita, dengan mengarahkannya ke tempat-tempat yang baik saja.
Sebagai makhluk biologis, Allah sudah mentakdirkan bahwa manusia harus berkembang biak agar bisa menruskan syiar dan perintahNya di muka bumi ini. Keberlansungan hidup manusia juga sengan ditentukan oleh adanya keturunan, dan untuk mendapatkan keturunan ini, Allah juga sudah memberikan organ reproduksi atau yang sering disebut sebagai kemaluan.
Ketika Allah menciptakan Adam AS sebagai manusia pertama, Allah juga sudah membekali menusia dengan dua hala yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal dan nafsu, namun seiring dengan pemberian tersebut, Allah juga sudah memberikan petunjuk bagaiman memanage akal dan nafsu tersebut agar tidak menjerumuskan manusia kepada kehancuran.
Dalam ajaran Islam, sudah ada ketentuan yang jelas untuk “memfungsikan”organ kemaluan ini sebagai sarana reproduksi, yaitu melalui ikatan pernikahan. Melalui ikatan nikah ini, garis keturunan seseorang akan jelas silsilahnya. Ada larangan keras terkait dengan fungsi kemaluan ini, yaitu zina yang merupakan perbuatan yang akan berdampak buruk bagi manusia sendiri, selain akan melahirkan generasi yang tidak jelas garis keturunannya, juka akan berdampak munculnya berbagai penyakit sangat berbahaya seperti HIV/AIDS, Herpes, spilis dan penyakit kelamin berbahaya lainnya. Perbuatan zina cuka dapat memicu jenis kejahatan lainnya seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, serta kekerasan terhadap perempauan dan anak, bahkan tidak jarang berakhir dengan pembunuhan, seperti fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.
Bulan suci Ramadan dan juga Idulfitri adalah momentum untuk mampu mengendalikan alat reproduksi kita dari perbuatan tercela yang dilarang agama, apa arti kesucian bulan Ramadhan ini juka tidak diiringi dengan menjaga kemaluan kita dari perbuatan yang dilarang agama. Pengertian menjaga disini, bukan sekedar menghindari perbuatan zina, tapi juga menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengarah ke perbuatan tersebut.
Itulah sekelumit gambaran tentang momentum Ramadan sebagai bulan penghabus dosa, dan kembalinya kita kepada fitrah atau kesucian pada saat memasuki Idulfitri yang bisa tergambar dan kita evaluasi sendiri dari aktifitas anggota dan organ tubuh kita. Pada intinya, kembali kepada fitrah saat mengakhiri Ramadhan itu akan dapat kita gapai, kalau kita mampu menjaga kesucian dari seluruh anggota dan organ tubuh kita, karena aktifitas apapun yang dilakukan oleh organ tubuh kita itu, adalah cerminan dari apakah kita benar-benar mampu kembali kepada kesucian, atau hanya mengaku kembali kepada kesucian, semua kembali berpulang kepada pilihan kita sendiri.
Karena yang mampu menggerakkan anggota dan organ tubuh kita adalah diri kita sendiri. Apakah kita ingin benar-benar kembali kepada fitrah, atau hanya sekedar ingin di anggap kembali kepada fitrah atau bahkan kembali kepada fitrah sesaat tapi kembali kepada tabiat buruk sebelumnya, semua tergantung kepada kita, karena ibadah puasa ini adalah momentum pengendalian diri yang sifatnya sangat rahasia dan individual..
Mohon maaf para pembaca, tulisan ini sama sekali bermaksud untuk mengajari atau menggurui, karena saya sendiri menyadari keterbatasan saya di bidang pengetahuan agama, ini hanya sekedar inspirasi yang muncul begitu saja dari benak saya, dan kemudian setelah saya rangkai dengan berbagai referensi, jadilan tulisan yang tentu saja jauh dari kata sempurna ini. Semoga ada manfaatnya.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah.