:
Oleh MC Kab Aceh Tengah, Minggu, 18 April 2021 | 13:08 WIB - Redaktur: Kusnadi - 4K
Oleh: Fathan Muhammad Taufiq *)
Kopi Arabika (Coffea arabica) merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi produk ekspor unggulan di Indonesia. Secara spesifik, kemudian komoditi perkebunan ini menjadi komoditi utama dan unggulan di dua kabupaten yang berada di Dataran Tinggi Gayo yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Luas areal pertanaman kopi arabika di kedua daerah ini mencapai lebih dari 120.000 hektar, dengan produksi per tahun mencapai lebih dari 200.000 ton. Komoditi perkebunan ini kemudian menjelma menjadi “soko guru” alias penopang utama perekonomian di daerah dengan topografi pegunungan berhawa sejuk ini.
Produk Domestik Regional Brutto (PDRB) terbesar bagi daerah ini dihasilkan produk kopi arabika yang saat ini sudah banyak dikenal oleh konsumen manca negara baik di daratan Eropa, Amerika maupun Asia. Kopi arabika asal daerah ini yang kemudian dikenal dengan identitas geografis sebagai Kopi Gayo (Gayo Mountain Coffee) ini, sekarang sudah mampu bersaing dengan kopi arabika yang dihasilkan oleh Negara-negara di benua Afrika, Amerita latin (khususnya Bazil) dan beberapa Negara Asia seperti Vietnam dan Thailand di pasar kopi dunia. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana eksistensi kopi arabika ini mampu mengangkat perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gayo?.
Kopi Organik sebagai salah satu keunggulan Kopi Gayo
Pasar kopi baru yaitu speciality coffee merupakan peluang yang harus diraih, dalam kopi organik termasuk di dalamnya. Kopi organik merupakan kopi yang diproduksi dengan menganut pada paham pertanian yang berkelanjutan. Dalam budidaya organik aspek-aspek pelestarian sumberdaya alam, keamanan lingkungan dari senyawa-senyawa pencemar, keamanan hasil panen bagi kesehatan manusia serta nilai gizinya sangat diperhatikan. Di samping itu dalam budidaya kopi organik aspek sosial ekonomi juga menjadi perhatian utama.
Jadi, tidak seperti anggapan masyarakat selama ini bahwa kopi organik adalah budidaya kopi tanpa pestisida, pupuk buatan dan tanpa pemeliharaan sama sekali. Justru, pada budidaya kopi organik jauh lebih banyak aspek yang harus diperhatikan.
Kopi organik hanya dapat diproduksi pada kondisi sumber daya lahan yang tingkat kesuburan tanahnya tinggi, curah hujannya cukup serta daya dukung lingkungannya tinggi.
Pengelolaan tanah mempunyai arti yang sangat penting yang meliputi penyediaan bahan organik yang cukup di dalam tanah dan memanfaatkan mikrobia seperti jamur mikoriza ber VA. Mengingat daerah pertanaman kopi arabika umumnya di daerah dataran tinggi dengan topografi berbukit hingga bergunung, maka pengendalian erosi dengan terasering mutlak dilakukan.
Pengendalian organisme pengganggu tanaman kopi dilakukan dengan mempergunakan sistem pengedalian terpadu dengan mengutamakan pengendalian secara hayati. Jamur Beauveria bassiana dapat dipergunakan untuk mengendalikan hama bubuk buah kopi, Trichoderma sp. untuk pengendalian jamur akar kopi. Selain itu ekstrak daun mimba (Azadirachta indica) dapat dimanfaatkan sebagai pestisida botani.
Penanganan pasca panen kopi organik memerlukan kecermatan agar sesuai dengan ketentuan standar mutu biji kopi. Dalam menghasilkan kopi organik yang lebih penting untuk diperhatikan adalah adanya saling menguntungkan antara produsen/petani, pengolah (prosesor) dan pedagang (eksportir).
Satu-satunya Provinsi yang telah mengekspor kopi organik adalah Aceh (khususnya Dataran Tinggi Gayo) . Premium yang diperoleh oleh kopi organik berkisar antara 20 - 70,5 persen, yang merupakan persentasi tertinggi dari seluruh penghasil kopi dunia. Hal ini tentu akan membuat kopi organik yang dihasilan petani Gayo akan semakin dikenal di dunia dan harganya di pasaran dunia akan tetap tinggi. Harapan kita fenomena ini juga akan berdampak kepada peningkatan kesejahteran petani kopi di Dataran Tinggi Gayo tercinta ini.
Apa yang membuat kopi Gayo lebih unggul dari yang lain?
Pertama, varietas yang ditanam petani kita menghasilkan kopi berkualitas terbaik.
Kedua, iklim dan jenis tanah di wilayah-wilayah tersebut sangat mendukung produksi kopi bercitarasa mantap dan khas.
Ketiga, cara pengolahan basah (wet hulling) yang dilakukan petani kita sangat unik yang menciptakan citarasa kopi terbaik.
Keempat, praktek pertanian yang dilakukan umumnya sesuai dengan tuntutan konsumen yaitu mengandalkan sistem pertanian organik.
Namun demikian, jika ingin menguak beberapa kendala dalam perkopian kita dapatlah disebut beberapa yang penting saja: sebagian praktek budidaya yang masih seadanya, serangan penyakit Jamur Akar Putih , produktivitas yang masih relatif rendah, persoalan sekitar harga yang adil di tingkat petani, dan lemahnya institusi perkopian di tingkat petani.
Praktek pertanian yang masih seadanya ditandai dengan sebagian (besar) petani yang belum serius mengelola kebunnya. Banyak petani bahkan tidak memupuk kopi sepanjang tahun.. Selain itu, bahan tanaman (bibit) umumnya diperoleh dari kebun sekitarnya dan sebagian besar kebun kopi kita tidak memiliki tanaman pelindung yang baik sehingga daya tahan tanaman kopi menjadi rendah.
Yang sangat merisaukan adalah munculnya serangan penyakit jamur akan putih yang gejalanya sudah menyebar hampir di seluruh dataran tinggi Gayo, teknologi untuk pengendalian penyakit ini masih relatif terbatas.
Bantuan pemerintah dalam pengendalian Jamur Akar Putih dengan system pengendalian penyakit secara biologi dengan Trycodherma melalui Dinas teknis dengan bimbingan dari para penyuluh, juga belum mencapai hasil yang optimal.
Budidaya Kopi dari Hulu ke Hilir mempercepat Pembangunan Wilayah
Membahas pengembangan wilayah berbasis pertanian tentunya kita tidak terlepas dari tingkat produktivitas. Sekaitan dengan komoditas kopi arabika, produktivitas ini diyakini mampu secara signifikan mempengaruhi perekonomian masyarakat di suatu wilayah.
Seperangkat teknologi budidaya kopi dan faktor pendukung secara umum telah tersedia dan agaknya tidak terlalu rumit. Asumsi kita, peningkatan harga dapat menjadi insentif bagi petani untuk mulai mencoba menerapkan berbagai teknologi itu secara bertahap. Namun asumsi kita tidaklah sepenuhnya benar.
Sebut saja misalnya, mengapa petani masih enggan menanam pohon pelindung dan menggunakan pupuk organik secara teratur. Tambahan lagi, mengapa petani tidak mau membuat catatan aktivitas usahatani kopi, padahal berbagai studi di manca negara terbukti bahwa catatan itu mampu meningkatkan produktivitas.
Apakah ini disebabkan kendala ekonomi atau kendala sosial-budaya? Dari aspek ekonomi mestinya peningkatan pendapatan akan memicu re-investasi ke kebun kopi. Dari sini kiranya muncul hipotesis bahwa kondisi sosial-budaya patut diduga menjadi kendala upaya-upaya penigkatan produktivitas ‘emas hitam’ ini.
Harga Kopi Gayo tertinggi di Dunia.
Terlepas dari sistim budidaya kopi Gayo yang masih berorientasi pola budaya konvensional, kita patut bersyukur, bahwa harga kopi yang dihasilkan oleh para petani di Dataran Tinggi Gayo berada di atas rata-rata harga kopi dari daerah lain, bahkan masih di atas harga kopi dunia. Gambaran harga kopi arabika di daerah Gayo sebagai berikut. Jika hari ini harga kopi gabah (Biji kopi kering yang masih terikut cangkangnya) di tingkat petani adalah Rp30.000 per bambu (sekitar Rp 25.000 per Kg) dan harga biji kopi siap olah (Green Bean Coffee) di tingkat pedagang pengumpul adalah Rp55.000,- sampai Rp60.000,- per Kg.
Harga tersebut, menurut Rizwan Husein, eksportir kopi Gayo dan Ketua KBQ Baburrayyan, lebih tinggi dari harga f.o.b. pelabuhan pengirim. Namun kalau kita lihat harga rata-rata bulanan di pasar New York saat ini (jenis Other Mild Arabicas) adalah sekitar Rp45.000,- (US $ 3,2) per kg, sedangkan harga kopi Gayo bisa mencapai US $ 4,3 per kilogramnya.
Perbedaan harga yang cukup mencolok tersebut, ungkap Rizwan, karena kopi Gayo memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh kopi dari daerah lain, keunggulan tersebut adalah kopi Gayo sudah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis (IG) yang sudah diakui oleh berbagai lembaga kopi dunia baik di Eropa maupun Amerika. Dengan keunggulan tersebut, kopi Gayo bisa menentukan harga sendiri tanpa mengacu kepada harga pasar dunia, karena spesifikasi kopi Gayo yang khas dengan kulaitas premium, membuat buyer berani membeli dengan harga tinggi.
Dengan harga tersebut, mestinya kondisi petani kopi Gayo bisa menjadi lebih sejahtera karena hasil pertanian mereka mau dibeli oleh para buyer dengan harga relatif tinggi, namun kondisi riil di lapangan belum sepenuhnya menggambarkan hal demikian. Salah satu penyebabnya adalah produktivitas kopi Gayo yang masih tergolong rendah, menurut catatan dari instansi teknis terkait, produktivitas rata-rata kopi Gayo baru mencapai 720 Kg per Hektar. Artinya, dengan produktivitas demikian, penghasilan petani kopi Gayo baru mencapai Rp 43.200.000,- per hektarnya, sementara di daerah lain, meski harga kopinya lebih rendah, namun karena produktivitasnya lebih tinggi, maka penghasilan petani kopi di sana bisa lebih tinggi dari petani kopi Gayo.
Ada daerah penghasil kopi di Indonesia yang sudah mampu mendongkrak produktivitas kopinya sampai 2 Ton per hektar, dengan harga pasar Rp45.000,- kilogram saja. Mereka mampu meraih penghasilan Rp 90.000.000,- per hektarnya, lebih dua kali lipat dari apa yang diperoleh oleh petani kopi Gayo. Dengan demikian, kita boleh berasumsi bahwa belum terkatrolnya kesejahteraan petani kopi Gayo, bukan karena pengaruh harga pasar, tapi lebih kepada rendahnya produktivitas.
Salah satu upaya peningkatan produktivitas kopi yang berpuncak pada peningkatan profit margin petani kopi adalah dengan memperkuat kelembagaan kelompok tani, mengintensifkan pembinaan dan penyuluhan, serta secara bertahap meningkatkan kualitas SDM petani dan Penyuluh Pertanian. Selain itu, upaya mempertahankan kualitas kopi Gayo juga harus terus dilakukan, karena jika kualitas menurun, otomatis harga juga akan jatuh.
Upaya yang telah dilakukan oleh Rizwan Husein melalui KBQ Baburrayyan dengan membentuk Internal System Controll (ISC) yang berfungsi memantau kualitas kopi sejak dari kebun sampai ke prosessing dan pengapalan, merupakan terobosan bagus yang mestinya bisa dijadikan standar pengendalian mutu Kopi Gayo. Belakangan langkah pak Rizwan ini, mulai diikuti oleh para eksportir kopi Gayo lainnya, sebuah langkah maju tentunya, untuk tetap mempertahankan kulaitas kopi Gayo yang selama ini sudah mendapatkan pengakuan dunia.
Namun demikian, harus diakui, bahwa selama tiga dasawarsa belakangan ini, kopi arabika gayo telah memberikan kontribusi penting bagi perekonomian masyarakat Gayo. Sektor ekonomi di Dataran Tinggi Gayo ini nyaris semuanya bergantung kepada komoditas perkebunan ini. Apa jadinya, kalau Gayo tidak memiliki kopi, tentu sulit membayangkannya. Begitu juga dengan masalah ketahanan pangan, hampir semua akses kebutuhan pangan di Gayo bergantung kepada kopi arabika ini. Daya beli masyarakat Gayo terhadap produk-produk pangan juga sangat bergantung penghasilan dari kebun kopi mereka.
Selain mampu menjadi penyangga utama perekonomian masyarakat, aktivitas pada usaha tani kopi arabika menyerap relatif banyak tenaga kerja setempat, tenaga kerja ini terutama dialokasikan untuk kegiatan panen. Dengan dukungan iklim yang sesuai maka kopi arabika kita dapat dipanen sepanjang tahun, meskipun dengan berbagai variasi fluktuasi produksi.
Artinya, pengangguran musiman (seasonal unemployment) yang kerap terjadi di sektor tanaman semusim, semakin berkurang dengan adanya komoditas kopi arabika ini. Dengan dua indikator saja (pendapatan dan penyerapan tenaga kerja), dapat dipastikan bahwa pengembangan kopi arabika berkontribusi positif bagi perekonomian wilayah.
Namun di tengah pandemi Covid-19 yang sampai saat ini terus berlanjut, resistensi ekonomi kopi arabika Gayo juga seperti sedang di uji. Konon pandemi covid menjadi kendala dalam ekpor kopi Gayo ke Amerika maupun Eropa, dan ini telah berdampak pada menurunnya secara drastis harga kopi di tingkat petani selama setahun terakhir. Tentu menjadi tugas para pihak terkait untuk mencarikan solusi agar harga kopi Gayo segera stabil kembali, karena jika dibiarkan berlarut, akan berdampak pula pada tersendatnya perekonomian masyarakat dan terhambatnya pembangunan di daerah ini.
Tantangan kita kini adalah bagaimana para pemangku kepentingan bersinergi mengembangkan komoditas andalan ini juga mencarikan solusi bagi keberlanjutan budidaya dan peluang pasar kopi Gayo ini. Kita ingin bertanya, demi petani kopi. Timbul pertanyaan, sejauh mana peran Dinas Pertanian (dan Perkebunan), Dinas Perdagangan, BUMD terkait, Lembaga Legislatif Daerah (DPRK), para pelaku usaha dan para penyuluh pertanian di lapangan? Marilah kita jawab bersama dengan aksi nyata.
*) Kasie Layanan Informasi dan Media komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah, Peminat Bidang Pertanian.