:
Oleh MC KOTA PADANG, Minggu, 14 Oktober 2018 | 06:49 WIB - Redaktur: Elvira Inda Sari - 6K
Padang, InfoPublik — Suara mesin serut kayu memecah di tengah kebisingan lalu lintas kawasan Pasar Batipuah, Padang Selatan, Kota Padang. Asap kendaraan tersamar oleh abu-abu kayu yang terbawa dari gudang tua itu. Di dalam bangunan tua tersebut berjejer peti mati yang diselimuti debu dan hanya menyisakan sedikit ruang yang sempit.
Sudah hampir 25 tahun bangunan tersebut menjadi tempat Syafridel (50) menggantungkan hidup sebagai peranjin peti mati. Siang itu, ia hanya sendirian memoles sebuah peti mati, sementara dua orang rekannya tengah keluar. Ia melempar senyum saat InfoPublik datang melihat proses pembuatan peti mati tersebut. Lelaki yang setengah usianya saat ini dihabiskan menjadi perajin pembuat peti mati ini bercerita tentang pekerjaannya.
"Ini usaha perkumpulan warga Tionghoa Himpunan Tjinta Teman (HTT), tetapi yang membeli peti mati di sini beragam, bahkan juga banyak dari luar daerah," cerita pria asli Kota Solok tersebut.
Sebagian orang mungkin merinding melihat peti mati karena benda berbentuk persegi panjang itu identik dengan alam kubur. Padahal, bagi beberapa agama, seperti Budha, Konghucu, dan Kristen, peti mati adalah sebuah kebutuhan sebagai pelengkap tradisi pemakaman. Namun, ketakutan itu tidak berlaku bagi Syafridel.
"Sudah 25 tahun saya bekerja sebagai perajin tidak pernah mengalami hal yang aneh-aneh atau mistis," tuturnya.
Bisnis peti mati terbilang unik karena jumlah permintaan peti mati tidak dapat diprediksi setiap tahunnya, meskipun saat ini penggunaan peti bagi sebagian masyarakat agama tertentu cenderung meningkat.
“Pemesan memang tidak menentu. Ya namanya orang meninggal, kadang dalam sebulan itu ada lima atau enam orang," ucap pria bertubuh gempal tersebut.
Syafridel membuat beberapa macam peti mati, mulai dari yang polos tanpa ukiran, peti mati kwuacan, hingga peti mati Tionghoa yang berukuran besar dengan penuh ukiran. Peti mati polos harganya Rp5 juta, peti mati berukiran harganya Rp10 hingga 15 juta, dan paling mahal adalah peti mati tradisional Tionghoa, yakni Rp35 juta.
Mengenai pengerjaan peti mati, Syafridel mengutarakan, satu peti memakan waktu satu hingga dua minggu lamanya, tergantung ukiran atau ukuran. "Kita menggunakan bahan baku dari sini (Sumbar) saja, Kayu Meranti dan Katuko, karena harganya lebih terjangkau," katanya.
Hingga kini, pembeli peti matinya paling banyak di Padang, dan sudah mulai banyak dari Bukittinggi dan Payakumbuh. "Peti mati selalu dibutuhkan orang. Buktinya, sejak dulu bisnis ini tetap bertahan," ujarnya. (McPadang/putra/Vira)