:
Oleh MC Prov Sumatera Barat, Minggu, 26 Agustus 2018 | 23:27 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 2K
Padang, InfoPublik - Sebagai kota wisata, salah satu yang melekat pada Padang adalah wisata religinya. Ini telah terkenal sejak berabad-abad silam. Masjid Raya Ganting yang terletak di Jalan Ganting nomor 10 Kelurahan Ganting Parak Gadang, Kecamatan Padang Timur, jadi beberapa yang menunjukan betapa religiusnya masyarakat di wilayah ini.
Masjid berukuran 42X39 meter persegi itu memiliki keunikan dan merupakan bangunan tertua yang tidak pernah direnovasi, namun masih memiliki keindahan yang alami.
Tidak hanya sebagai objek wisata religi, masjid tersebut juga memiliki beberapa keterkaitan sejarah khususnya pra kemerdekaan Republik Indonesia karena menjadi saksi perjuangan kemerdekaan negeri ini.
"Masjid ini merupakan bangunan tertua yang ada di Kota Padang, karena dibangun pada tahun 1805 di lokasi ini yang sebelumnya berada di pinggir Batang Harau, Kecamatan Padang Selatan," kata Narsuhud Husin, salah seorang pengurus masjid, Sabtu (25/8/2018).
Ia menjelaskan bagaimana keadaan masjid tersebut mulai dari pertama kali dibangun hingga saat ini. "Pada tahun 1790 masjid ini sebenarnya sudah ada, tetapi tidak terletak di tempat ini, melainkan di daerah Batang Harau," tambahnya.
Karena adanya pembangunan pelabuhan Emma Haven yang saat ini bernama Teluk Bayur, masjid tersebut dihancurkan dan kembali dibangun pada tahun 1805 di daerah Ganting di atas tanah wakaf tujuh suku.
Pada tahun 1810, pembangunan Masjid Raya Ganting diselesaikan berkat sumbangan masyarakat Minangkabau yang berada di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat.
Tidak bertahan lama, pada tahun 1833, masjid tersebut dihantam oleh tsunami yang meluluhlantakkan sebagian besar Kota Padang. "Saat tsunami itu, masjid ini hanya lantainya yang terbuat dari batu yang disusun saja yang rusak, selebihnya tidak ada masalah," lanjutnya.
Pada tahun 1900, pembangunan masjid tersebut mendapat dukungan dari seorang Genie Belanda yang berpangkat kapten dengan pekerja bangunan yang ditunjuk langsung oleh Belanda.
Masjid yang memiliki ornamen campuran gaya Eropa, Cina dan Minangkabau itu dimulai dengan pembangunan fasad depan yang dibuat mirip benteng Spanyol yang disiapkan oleh Zani Bangunan Militer Belanda.
Ornamen berciri khas Cina yang terdapat pada masjid tersebut berasal dari seorang kapten dari Cina bernama Lou Chian Ko yang mengerahkan pekerja bangunannya untuk membantu pembangunan atap kubah masjid yang dibuat persegi delapan sehingga menyerupai bangunan Vihara.
Sementara ornamen khas Minangkabau berasal dari ulama Padri pada tahun 1803 sampai 1819 yang mengerahkan pekerja bangunannya untuk membuat papan les plang atap masjid dengan ukiran khas Minangkabau.
Pembangunan Masjid Raya Gantiang tidak hanya sekedar pembanguan biasa sebagai tempat ibadah saja, tetapi juga memiliki makna tertentu dalam bangunan tersebut.
"Beberapa hal yang dibangun di masjid ini memiliki filsafatnya masing-masing, seperti tiang yang berjumlah 25 itu melambangkan jumlah nabi dan rasul," sambung Narsuhud.
Selain itu, Percampuran arsitektur yang ada antara Eropa, Cina dan Minangkabau melambangkan persatuan dan kesatuan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika.
Selain menjadi lokasi wisata religi, Masjid Raya Gantiang juga memiliki momen sejarah pra kemerdekaan. "Sebelum kemerdekaan pada tahun 1942, presiden pertama republik ini pernah diungsikan ke sini sebelum ke Payakumbuh," ujar Narsuhud.
Selain itu, masjid tersebut juga merupakan tempat pembinaan prajurit Gyu Gun Hei-Ho yang dibentuk oleh Jepang yang merupakan tentara kesatuan pribumi. (Eko Kurniawan/Diskominfo/TR)