Pengurangan Risiko Bencana Harus Diimplementasikan Semua Pihak

:


Oleh Wawan Budiyanto, Kamis, 3 Januari 2019 | 09:04 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 376


Jakarta, InfoPublik - Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan, pengurangan risiko bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak dalam kerangka kerja yang komprehensif baik dari aspek teknologi, pendidikan siaga bencana, hingga kebijakan.

"Presiden sudah meminta revitalisasi sistem peringatan dini tsunami, namun kita harus melihat ada daerah-daerah seperti Lombok yang jarak dari sumber tsunami ke daratannya pendek sehingga waktu untuk menyelamatkan diri pun menjadi lebih pendek," kata Eko pada Media Breafing di Jakarta, Rabu (2/1).

Ia menjelaskan, hotel dan hunian penduduk di wilayah-wilayah yang terdampak tsunami Selat Sunda seperti Carita dan Anyer nyaris berada di bibir pantai.

"Idealnya ada garis sempadan sejauh 300 meter dari bibir pantai untuk perlindungan jika ada gelombang tinggi," ujarnya.

Karena itu, perlu peran aktif semua pihak serta ketegasan pemerintah dalam mengatur tata ruang wilayah pantai.

Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Yogaswara menyebutkan, perlu pendidikan siaga bencana yang sesuai dengan karakteristik lokal dan diperbarui sesuai dengan kejadian-kejadian bencana terbaru.

"Masyarakat lokal sebetulnya punya potensi pengetahuan karena mereka punya kedekatan dengan alam. Cerita rakyat mengenai gempa bumi dan tsunami sebetulnya sudah ada, seperti dongeng Smong di Simeulue, Aceh," jelasnya.

Pada tahun 1907, tsunami yang oleh warga setempat disebut smong pernah menghantam Simeulue. Kejadian itu membekas di ingatan kolektif warga. Sebagai pengingat tsunami, ada syair yang bercerita tentang kejadian ini dan terus dituturkan dari generasi ke generasi.Isinya, jika ada gempa segera lari ke atas bukit tak perlu lihat laut surut.

"Saat terjadi tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, meski Simeulue yang paling awal kena, tercatat hanya tujuh korban meninggal," tutur Herry.

Pengetahuan lokal ini perbarui sesuai dengan kejadian-kejadian bencana terbaru dan latihan secara terus menerus sehingga akan terus dengan mudah diingat.

Dari aspek teknologi, Bambang Widiyatmoko, peneliti bidang instrumentasi kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI mengungkapkan alternatif sistem peringatan dini tsunami selain buoy dengan menggunakan Laser Tsunami Sensor.

"Prinsip kerjanya adalah mengirim cahaya dari darat itu ditembakkan ke dasar laut, lalu ada sensor di dalamnya yang akan kembali menembakkan cahaya tersebut ke pos pantau," jelasnya.

Sensor ini ditempatkan dalam kabel fiber optik yang berada di dasar laut. Kabel fiber optik itu akan terhubung dengan pos pemantau yang akan memancarkan cahaya laser dari ujung kabel ke ujung kabel lainnya melalui sensor deteksi.

"Ketika terjadi pergerakan air laut yang tidak biasa atau ada tekanan yang berubah, sensor deteksi akan membelokkan cahaya yang akan menjadi tanda peringatan bahaya tsunami ke pos pemantau," sebutnya.

Mengenai bencana longsor, LIPI telah mengembangkan sistem pemantauan gerakan tanah berbasis jejaring sensor nirkabel yang bernama LIPI Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND).

"Teknologi ini dapat digunakan untuk memantau bahaya gerakan tanah dalam maupun dangkal, baik pada lereng alami, potongan maupun timbunan," terang peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Adrin Tohari.

Menurut Adrin, LIPI WISELAND mempunyai beberapa keunggulan, antara lain dapat menjangkau daerah pemantauan yang luas berdasarkan jejaring sensor, menyajikan data dalam waktu nyata dengan akurasi tinggi, serta memiliki catu daya mandiri menggunakan tenaga panel surya dan baterai lithium.

"Tujuan dari pengembangan LIPI WISELAND adalah untuk menyediakan teknologi pemantauan gerakan tanah yang lebih efektif dan handal dalam memantau dan memberikan peringatan dini dari ancaman berbagai jenis gerakan tanah di daerah yang luas," pungkas Adrin.