Mengawal Masa Kampanye, Mencegah Klaster Pilkada

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Senin, 5 Oktober 2020 | 13:20 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Rencana hajatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020, terus berjalan. Tahapan kampanye pun dimulai. Untuk itu, Pemerintah bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan sejumlah aturan untuk mencegah munculnya pusat penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) baru, yakni klaster Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.

Setidaknya ada tiga instrumen hukum yang dapat digunakan oleh pihak terkait dalam penegakan protokol kesehatan Covid-19 dalam setiap tahapan Pilkada serenak 2020. Pertama, peraturan daerah (perda) dengan pelaksana di lapangannya adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) didukung Polri dan TNI.

Kedua, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 dengan pelaksana utamanya adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang didukung oleh TNI, Polri, dan Satpol PP. Terakhir adalah Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantina Kesehatan dengan Polri sebagai penegak hukumnya dibantu Satpol PP dan didukung TNI.

Memang tidak mudah. Sosialisasi dan penegakan protokol kesehatan Covid-19 sudah masif dilakukan, tapi Bawaslu masih saja menemukan pelanggaran protokol kesehatan oleh peserta Pilkada serentak 2020. Apalagi, sekarang sudah masuk tahapan kampanye.

Berdasarkan temuan Bawaslu, selama tahapan kampanye pada 28-30 September 2020 telah terjadi pelanggaran protokol kesehatan di 35 kabupaten dan kota. Beberapa di antaranya adalah Depok, Trenggalek, Mojokerto, Ketapang, Bontang, Supiori, Bulukumba, Makassar, dan Sorong Selatan.

Dalam tiga hari pengawasan tersebut, Bawaslu menemukan pelaksanaan kampanye di 582 titik di 187 kabupaten dan kota.

Rinciannya, pertemuan terbatas tatap muka sebanyak 250 kegiatan (43 persen), penyebaran bahan kampanye 128 kegiatan (22 persen), pemasangan alat peraga 99 kegiatan (17 persen), kampanye media sosial 64 kegiatan (11 persen), dan kampanye daring 41 kegiatan (7 persen).

Dari temuan tersebut, bisa dilihat bahwa peserta Pilkada serentak 2020 masih mengandalkan metode kampanye tatap muka yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerumuman dan pelanggaran protokol kesehatan. Padahal, pemerintah dan penyelenggara pemilu sudah sering mendorong agar metode kampanye daring diutamakan.

Namun demikian, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai tahapan kampanye yang telah dimulai sejak 26 September sudah berjalan cukup baik di mana tidak terjadi pelanggaran yang cukup siginifikan terhadap protokol kesehatan Covid-19 oleh para pasangan calon (paslon) dan tim kampanye.

Berdasarkan data Kemendagri, sepanjang enam hari masa kampanye, pelanggaran terjadi di 53 dari 209 kabupaten dan kota. "Artinya, lebih kurang proporsinya sekitar 15% yang melanggar, tapi pelanggarannya tidak terlalu signifikan, tidak seperti pada saat tanggal 4-6 September (tahapan pendaftaran bakal paslon),” ungkap Mendagri Tito Karnavian.

Hal itu ia sampaikan dalam "Kegiatan Analisa dan Evaluasi (Anev) Pelaksanaan Kampanye Pilkada Serentak Tahun 2020" di Sasana Bhakti Praja Kantor Kemendagri, Jakarta, Jumat (2/10/2020).

Oleh karenanya, Mendagri berpendapat bahwa arahan dan imbauan disiplin protokol kesehatan selama ini sudah dijalankan dengan baik oleh seluruh otoritas yang ada, baik di tingkat pusat maupun daerah. Untuk itu, dirinya meminta agar konsistensi tersebut dapat terus dijaga.

"Insyaallah dengan kebersamaan dan sinergi ini, kita bisa menyelenggarakan Pilkada dengan aman, baik dari gangguan ketertiban umum dan berbagai bentuk kegiatan anarkis, maupun dari penyebaran Covid-19. Bahkan lebih dari pada itu, kita optimistis Pilkada berkontribusi dalam menekan penyebaran Covid-19,” katanya.

Zona Merah Turun

Sementara itu, kabar baik terkait pelaksanaan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 datang dari Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Doni Monardo. Ia menyebut telah terjadi penurunan jumlah zona merah pada daerah yang melaksanakan Pilkada dibandingkan dengan daerah yang tidak melaksanakannya.

“Data daerah yang melaksanakan Pilkada justru ada penurunan jumlah zonasi yang berisiko tinggi dari 45 ke 29 kabupaten/kota. Sedangkan di daerah yang tidak ada Pilkada, justru terjadi peningkatan dari 25 ke 33 kabupaten/kota,” ungkapnya.

Adapun rinciannya pada 270 daerah ditambah 39 kabupaten/kota yang tidak melaksanakan Pilkada tetapi provinsinya melaksanakan adalah zona merah berkurang dari 45 ke 29 kabupaten/kota; zona orange bertambah dari 152 ke 190 kabupaten/kota, zona kuning berkurang dari 72 ke 67 kabupaten/kota, dan zona hijau berkurang dari 40 ke 23 kabupaten/kota.

Sedangkan untuk 205 kabupaten/kota yang tidak melaksanakan Pilkada, zona merah bertambah dari 25 ke 33 kabupaten/kota; zona orange fluktuatif cenderung konstan; zona kuning bertambah dari 42 ke 45 kabupaten/kota, dan zona hijau berkurang dari 23 ke 12 kabupaten kota.

Namun, Doni juga mengingatkan bahwa perubahan tren zona risiko Covid-19 sebetulnya juga tidak serta merta bergantung ada atau tidaknya Pilkada.

"Pengalaman kita dalam beberapa minggu terakhir sebenarnya bukan ada atau tidak ada pilkada, tetapi komitmen seluruh komponen di daerah untuk bersama-sama mengendalikan Covid-19," katanya.

Sebab itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini meminta seluruh pihak, baik unsur masyarakat maupun pemerintah, agar patuh mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Sebelumnya, pemerintah telah menunda pelaksanaan Pilkada serentak 2020 dari jadwal semula pada 23 September menjadi 9 Desember mendatang. Harapannya, pada tanggal tersebut wabah virus ini sudah bisa dikendalikan.

Akan tetapi, jelang dua bulan menuju pemungutan suara, penyebaran Covid-19 di Tanah Air tak kunjung mereda. Desakan untuk menunda kembali Pilkada pun bermunculan. Namun, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan penyelenggara pemilu bersepakat tetap menggelar pesta demokrasi itu pada 9 Desember 2020.

Tentu ada alasan kuat kenapa keputusan tersebut diambil. Salah satunya adalah sangat pentingnya posisi kepala daerah saat terjadi pandemi. Jika Pilkada serentak 2020 tidak diselenggarakan, maka kepala daerah di 270 daerah akan habis masa baktinya dan digantikan oleh seorang pelaksana tugas (plt).

Sementara, seorang plt tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan kebijakan strategis. Padahal, di tengah situasi krisis seperti pandemi Covid-19, seorang kepala daerah harus memegang kendali dan kewenangan penuh terkait alokasi anggaran dan pengerahan seluruh sumber daya, termasuk manusia dan sarana.

Bisa dibayangkan bagaimana jadinya penganganan Covid-19 nanti jika sebuah daerah hanya dipimpin oleh seorang plt yang tidak memiliki kewenangan penuh. Dalam konteks inilah Pilkada serentak 2020 harus diselenggarakan tahun ini. (Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya)