Tidak Ada Surpres untuk RUU HIP

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Selasa, 30 Juni 2020 | 01:36 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 688


Jakarta, InfoPublik - Di tengah pandemi virus corona (Covid-19), isu Pancasila turut menghangatkan suasana di Tanah Air. Semua berawal dari munculnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Dalam sidang paripurna pada 12 Mei 2020, RUU inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut ditetapkan dan dimasukan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020. Sejak saat itu, RUU HIP pun menarik perhatian berbagai pihak.

Tak sedikit yang mengkritik, bahkan menolak RUU ini. Mereka yang mengkritik dan menolak menunjuk sumber masalahnya ada pada naskah akademik dan draf RUU HIP yang disusun oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sejumlah pasal dan ketentuan dinilai kontroversial.

Secara prosedural, agar dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya, yakni tahap pembahasan, setelah ditetapkan oleh DPR, maka diperlukan pandangan dari pemerintah. Lalu bagaimana sikap pemerintah atas RUU tersebut?

Pemerintah dengan tegas meminta DPR untuk menunda pembahasan dan mendengar serta menyerap lebih banyak lagi aspirasi masyarakat. Maka itu, Presiden Joko Widodo tidak mengirimkan surat presiden (surpres). Tanpa surpres, otomatis DPR dan pemerintah tidak bisa membawa RUU HIP ke tahap pembahasan. 

Sikap pemerintah ini didukung banyak pihak. Salah satunya adalah para purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri) serta Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang menyampaikan pandangan dan masukannya dalam pertemuan dengan Presiden di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 19 Juni 2020.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang ikut dalam pertemuan tersebut, seluruh pihak sepakat dan setuju dengan pandangan Presiden.

Pertama, kalaupun RUU HIP nantinya disahkan menjadi UU, maka Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme masih berlaku karena sudah dikunci keberlakuannya oleh Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003.

Kedua, Pancasila itu sudah final, yakni Pancasila yang ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang terdiri dari lima sila.

Maka itu, para purnawirawan juga berharap pemerintah menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta tidak mentolerir setiap upaya yang mengganggu keutuhan Pancasila dari paham-paham yang mengancam.

Adapun para purnawirawan yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Wapres ke-6 RI Try Sutrisno, Ketua Umum LVRI Saiful Sulun, Wakil Ketua Umum LVRI Bantu Hardjijo, Sekretaris Jenderal LVRI FX Soejitno, Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AU Djoko Suyanto, dan Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri Soekarno.

Selain itu hadir pula Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AD Kiki Syahnakri, Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat Toni Hartono, Ketua Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri Bambang Darmono, Ketua Persatuan Purnawirawan TNI AL Ade Supandi, dan Ketua Persatuan Purnawirawan Polri Bambang Hendarso Danoeri.

Sebagai informasi, latar belakang hadirnya RUU HIP adalah karena saat ini belum ada UU sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai haluan ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di dalam naskah akademik RUU tersebut dijelaskan kalau RUU HIP dibuat sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.

Namun, RUU ini kemudian mendapat penolakan dari banyak pihak. Alasannya, terdapat pasal tentang ciri pokok Pancasila adalah Trisila yang terkristalisasi dalam Ekasila. Hal ini kemudian dinilai dapat menciptakan bias Pancasila. Di samping itu, RUU tersebut juga dinilai tidak mendesak untuk dibuat.

Kemudian tidak dimasukannya Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai konsideran aturan tersebut juga menjadi kritikan yang lainnya. Ini menimbulkan persepsi bahwa bila nanti disahkan, maka RUU HIP memungkinkan munculnya kembali komunisme. 

Secara prosedural, kini nasib RUU HIP berada di tangan DPR. Pemerintah juga sudah menyerahkan naskah akademik dan draf RUU kembali ke DPR. Oleh karena RUU HIP merupakan usulan dari DPR, maka akan keliru alias salah alamat ada pihak yang mempertanyakan kenapa pemerintah tidak mencabutnya.

Pada dasarnya, niat yang baik memang sepatutnya didukung. Bila melihat latar belakangnya, RUU HIP ini memiliki niat yang baik untuk penguatan Pancasila sebagai ideologi bangsa ini ke depan.

Namun, wakil rakyat juga manusia yang tidak lepas dari kekurangan. Maka itu, sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya mendengarkan suara rakyat yang diwakilinya sehingga RUU HIP menjadi lebih sempurna dan mendapat dukungan dari semua pihak. Sebab, semua pasti setuju bahwa Pancasila dan NKRI adalah harga mati. (Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)