Menjamin Hak Napi Bebas Covid-19

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Sabtu, 27 Juni 2020 | 18:28 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 802


Jakarta, InfoPublik - Negara dan pemerintah, begitu amanat yang tertera dalam undang-undang,  harus hadir melindungi seluruh warganya dalam keadaan apa pun. Tentu, termasuk saat pandemi virus corona (Covid-19) seperti sekarang ini.

Pelindungan itu juga tidak boleh tebang pilih. Semua berhak mendapatkannya. Tak terkecuali para narapidana (napi). Pasalnya, Covid-19 tidak pandang bulu. Siapa saja bisa terjangkit penyakit ini.

Salah satu upaya negara dan pemerintah dalam melindungi napi dari Covid-19 adalah dengan program asimilasi dan integrasi. Melalui program ini, mereka yang memenuhi sejumlah persyaratan dapat bebas lebih cepat. Meski bebas, para napi itu tetap diawasi oleh petugas. Bila terbukti melanggar aturan, maka hak asimilasinya dicabut dan kembali mendekam di penjara.

Kebijakan ini pun mendapat kritikan, bahkah digugat. Menanggapi itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pihaknya memiliki dasar hukum dan berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan yang ada.

"Saya yakin hakim bisa melihat dengan jernih bahwa tidak ada unsur melawan hukum dari kebijakan (asimilasi dan integrasi) ini serta pelaksanaannya," tuturnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (25/06/2020).

Hal tersebut Menkumham sampaikan menyusul digelarnya sidang perdana gugatan atas kebijakan asimilasi dan integrasi napi terkait Covid-19 di Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (25/06/2020).

Diketahui, kebijakan Kemenkumham sebagai upaya pencegahan penularan Covid-19 di lingkungan rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) ini digugat oleh sekelompok advokat Kota Solo yang tergabung dalam Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia.

Gugatan itu dilayangkan kepada Kepala Rutan Kelas I A Surakarta sebagai tergugat I, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Jawa Tengah sebagai tergugat II, dan Menkumham sebagai tergugat III.

Adapun dasar hukum kebijakan asimilasi dan integrasi yang dimaksud Menkumham ada dua. Pertama, Peraturan Menkumham (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Integrasi Bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.

Kedua, Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Selain memiliki dasar hukum, program asimilasi dan integrasi juga dilakukan atas dasar kemanusiaan demi mencegah Covid-19 masuk dan menyebar di lingkungan lapas atau rutan yang overcrowded (kelebihan kapasitas) dan tidak memungkinkan dilakukan physical distancing (jaga jarak) sebagaimana protokol kesehatan yang sudah dibuat oleh pemerintah.

Pengawasan Ketat

Banyak pihak yang khawatir dengan pembebasan ini justru akan membuat jumlah tindak kejahatan meningkat. Banyak sekali berita di media massa mengenai napi asimilasi kembali berulah. Padahal bila dilihat secara holistik, jumlahnya sangat lah kecil.

Berdasarkan data Kemenkumhan hingga pertengahan Juni 2020, total napi dan anak yang dibebaskan lewat program asimilasi dan integrasi terkait Covid-19 berjumlah 40.020 orang. Dari jumlah tersebut, hanya 222 orang yang terbukti melakukan pelanggaran ketentuan sehingga asimilasinya dicabut.

Bila dikalkulasi, rasio napi asimilasi yang kembali berulah di masyarakat itu hanya 0,55 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah daripada tingkat residivisme (pengulangan) pada kondisi normal sebelum pandemi yang bisa mencapai 10,18 persen.

Rendahnya tingkat pengulangan ini tak lepas dari ketatnya pengawasan yang dilakukan terhadap para napi. Pengawasan tersebut dilakukan dalam tiga tahapan, yakni preemtif, preventif, dan represif.

Pihak yang terlibat dalam pengawasan juga tidak hanya petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas). Kemenkumham juga berkoordinasi dengan penegak hukum lain dan jajaran forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) hingga tingkat RT/RW.

Maka itu, Menkumham pun meyakini bahwa masyarakat saat ini sudah semakin paham dan menerima alasan di balik program asimilasi dan integrasi. Hal ini tidak lepas dari upaya yang dilakukan jajarannya dalam memberi penjelasan ke publik, termasuk melakukan konfirmasi atas berita tidak benar terkait napi asimilasi.

"Semakin ke sini masyarakat semakin bisa melihat bahwa memang ada faktor kemanusiaan sebagai alasan dikeluarkannya kebijakan asimilasi dan integrasi terkait Covid-19. Bahwa ini kebijakan yang harus dilakukan negara dalam menghadapi pandemi ini," kata Menkumham.

Napi Asimilasi Kembali Berkarya

Fakta di lapangan jelas menunjukkan hanya sedikit sekali jumlah napi yang kembali berulah. Bahkan, ada juga napi yang justru kembali berkarya setelah menerima program asimilasi. Salah satunya adalah seorang napi Lapas Polewali Mandar yang berwirausaha dengan membuka bengkel sepeda motor.

"Kami mengapresiasi inisiatif narapidana asimilasi di Lapas Polewali tersebut. Keberhasilan pemasyarakatan itu indikatornya, warga binaan itu menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, tidak melanggar hukum lagi, dan masyarakat dapat menerimanya kembali," kata Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sulawesi Barat Harun Sulianto, seperti dilansir Antara, Kamis (14/5/2020).

Adalah Abdul Salam bin Amir (48), napi asimilasi dari Lapas Polewali Mandar yang membuka bengkel motor tersebut.

Selama hampir dua tahun dirnya menjalani hukuman akibat terjerat kasus narkoba. Kini, Abdul Salam yang baru dua pekan bebas setelah mendapatkan program asilmilasi langsung membuka kembali bengkel sepeda motornya.

"Sudah ada konsumen yang datang. Bengkel saya melayani perbaikan motor dan juga modifikasi. Saat di lapas, saya pernah mengikuti kursus las sehingga kalau ada yang mau modifikasi motor, saya sudah bisa. Untuk sementara belum ada karyawan dan saya hanya dibantu anak saya," tuturnya.

Abdul Salam pun menyampaikan rasa terima kasih kepada Kemenkumham dan Pembimbing Kemasyarakatan yang telah membimbingnya.

"Saya sudah capek hidup di lapas dan kapok, pak. Makanya saya mau berubah dan fokus menjalankan usaha bengkel ini untuk mencari nafkah. Alhamdulillah, perlahan bengkel saya kembali berjalan seperti dulu," imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Balai Pemasyarakatan Polewali Heri Kusbandono mengatakan, program asimilasi rumah merupakan upaya menyiapkan napi untuk kembali dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

"Kami akan mendukung sepenuhnya kegiatan produktif yang dilakukan klien asimilasi. Semoga asimilasi ini mempercepat pulihnya kesatuan hidup, kehidupan, dan penghidupan klien dengan masyarakat," katanya.

Tidak Sembarang Membebaskan

Jika melihat Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020, bisa dipastikan pemerintah tidak akan sembarangan membebaskan napi melalui program asimilasi dan integrasi.

Ditegaskan dalam Permenkumham 10/2020 bahwa napi dan anak yang berhak mendapatkan asimilasi dan integrasi adalah mereka yang melakukan tindak pidana selain terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan ham yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi.

Sebagai informasi, asimilasi dalam peraturan tersebut dijelaskan sebagai proses pembinaan napi dan anak yang dilaksanakan dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Mengingat saat ini sedang pandemi, maka asimilasi dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan petugas Bapas.

Adapun kriteria napi yang bisa keluar melalui pelaksanaan asimilasi di rumah adalah mereka yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Sementara bagi anak ditentukan 1/2 masa pidananya yang juga jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.

Kemudian napi dan anak tersebut tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP, tidak sedang menjalani subsider, dan bukan warga negara asing (WNA).

Hak asimilasi tersebut harus dilaksanakan di rumah sampai dengan dimulainya integrasi berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh kepala lapas, rutan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Sementara pembebasan napi dan anak melalui integrasi, sesuai beleid ini, harus memenuhi kriteria telah menjalani 2/3 masa pidana bagi narapidana dan 1/2 masa pidana bagi anak. Sama seperti aturan asimilasi, integrasi juga hanya berlaku bagi napi dan anak yang tidak terkait dengan PP 99/2012, tidak sedang menjalani subsider, dan bukan WNA.

Usulan pembebasan dengan integrasi ini dilakukan melalui sistem database pemasyarakatan, di mana surat keputusannya diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkumham.

Selain mencegah penyebaran Covid-19, program asimilasi dan integrasi juga telah menurunkan tingkat kelebihan kapasitas lapas, rutan, dan LPKA ke angka 75 persen dari sebelumnya 99 persen. Dari jumlah napi pada akhir 2019 sebanyak 259.062 menjadi menjadi 231.609 pada Mei 2020.

Di samping itu, Kemenkumham mencatat pula bahwa anggaran untuk kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) mengalami penghematan hingga Rp341 miliar akibat program asimilasi dan integrasi.

Angka tersebut merupakan hasil penghitungan dari 270 hari, terhitung mulai April hingga Desember 2020, yang dikalikan dengan biaya hidup setiap napi per hari, termasuk makan, kesehatan, dan pembinaan sebesar Rp32.269, lalu dikalikan kembali dengan jumlah napi dan anak yang telah dikeluarkan.

Penghematan anggaran tersebut pun akan dimanfaatkan untuk pembangunan dan penambahan hunian di beberapa lapas dan rutan, serta penanggulangan Covid-19 di lingkungan Ditjen Pemasyarakatan. (Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)