Werinussa Sosok Gembala Yang Melayani

:


Oleh MC Gereja Protestan Maluku, Sabtu, 22 April 2017 | 14:45 WIB - Redaktur: Tobari - 1K


Ambon, InfoPublik - Sosok Gembala Pdt. A.J.S.Wernissua mengunjungi wilayah pelayanan Klasis GPM Telutih 13-16 April 2017. Klasis GPM Telutih terdiri dari 20 jemaat, dan sebanyak 14 jemaat masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kab. Maluku Tengah sedangkan 6 jemaat masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kab. SBT. 

Perjalanan ke Klasis Telutih merupakan perjalanan melayani. karena disana sosok gembala hadir untuk mendengarkan isi hati warga gerejanya maupun rekan-rekan pelayan (pendeta). Werinussa mengikuti ibadah perjamuan kudus (jum’at agung) di jemaat GPM Lafa.

Setelah ibadah Perjamuan Kudus, Werinussa bersama rekan pelayan beranjak untuk mengunjungi warga gereja serta para pendeta di sejumlah jemaat.,  

Werinussa mulai berkunjung dari Jemaat GPM Maneoratu dan berakhir di Jemaat GPM Ahinulin Naiwel. Sebagian besar pendeta yang bertugas di Klasis Telutih adalah perempuan, dan setiap perjumpaan selalu diakhiri dengan doa bersama.

Werinussa adalah sosok gembala yang suka mengunjungi wilayah-wilayah terpencil, karena ia peduli akan kehidupan warga gereja setempat serta kehidupan para pendeta.

Masalah yang disampaikan kepada Werinussa saat bertatap muka, kata mereka,  faktor keterpisahan dengan keluarga menjadi salah satu masalah, karena suami serta anak-anak tidak bersama di lingkungan tempat bertugas. Ini adalah keluhan yang membatin. Fungsi Gembala adalah mendengarkan, dan hal itulah yang dilakukan Werinussa.

Masalah lain yang mengemuka adalah faktor alam. Ada cukup banyak sungai yang membentang di wilayah pelayanan Klasis GPM Telutih, tapi ironisnya, pada sebagian besar sungai itu belum dibangun jembatan.

Malah ada 2 sungai yang menggunakan jembatan darurat yang dibangun oleh masyarakat setempat menggunakan material kayu. Sekali melewati jembatan dipungut biaya Rp 50.000 untuk mobil dan Rp25.000 untuk sepeda motor.

Sungai-sungai besar yang belum terhubung oleh jembatan berada di kedua wilayah pemerintahan, Kab. Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur. Hujan dengan durasi sekitar 1 jam saja yurun di kawasan hulu sungai (gunung), dipastikan segera meluap dan terjadilah banjir.

Luapan air sungai membuat daya gerus air meluas. Jika demikian, akses  dari jemaat-jemaat tersebut terputus total. Seberapa lama banjir itu berlangsung, selama itu pula akses dari jemaat-jemaat itu terputus.

Sarana transportasi menjadi masalah lain yang pelik. Mobil angkutan umum dari Masohi atau Amahai hanya sampai di Tehoru. Selanjutnya menggunakan ojek motor. Mobil yang dibutuhkan tidak tersedia setiap saat.

Jika tidak ada angkutan umum, atau keperluan mendesak, terpaksa menggunakan mobil carteran (sejenis Avanza, Rush). Jika tidak ada kendaraan (motor atau mobil) pribadi, maka biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Tidak heran, biaya transportasi dari Telutih begitu tinggi. Akibatnya jemaat-jemaat yang kaya potensi tersebut mengalami kesulitan untuk memasarkan hasil-hasil kebun dan hutannya, seperti cengkih, coklat, pala, kopra dan durian.

Karena persoalan akses serta sarana transportasi, maka hasil hutan berupa durian yang sekarang telah memasuki masa panen dihargai sangat rendah, antara 4-10 buah dibeli dengan nilai Rp10.000, tergantung besar kecilnya buah durian.

Banjir tidak saja memutuskan akses transportasi (barang dan manusia). Banjir pula yang membuat Jemaat GPM Ulahahan, Jemaat Dihil, dan Jemaat Sabuai, ditetapkan sebagai daerah rawan dan masuk dalam skenario siaga bencana, setiap banjir datang melanda.

Selain masalah di beberapa jemaat, Werinussa dan rekan-pelayan dari kantor sinode GPM juga menjumpai kesibukan para pengasuh dan orang tua mempersiapkan tenda bagi anak-anak SMTPI menyambut dan merayakan Paskah. Halaman gedung gereja yang cukup luas dipakai sebagai lokasi berkemah.

Di Jemaat GPM Laha, tenda-tenda dibangun begitu rapi, nyaman dan menarik, karena menjadi bagian dari unsur lomba antar unit pelayanan. Ada ruang tamu, ada ruang tidur dan ada ruang makan. Lantai tenda beralas papan. Kemudian dibuka karpet atau tikar atau kasur busa atau spons sebagai tempat tidur.

Begitu nyamannya tenda-tenda itu, sehingga Werinussa sempat berujar: “hanya orang yang pernah mengalami dan merasakan tinggal di tenda, bisa membuat tenda yang nyaman seperti itu”.

Rombongan beranjak ke Jemaat GPM Piliana, Sabtu (22/4) pagi. Piliana, merupakan satu-satunya jemaat di pegunungan, dan dijuluki “negeri di atas awan”. Julukan ini bukan isapan jempol. Pada waktu tertentu di siang hari, awan menutupi negeri piliana, membuat jarak pandang sangat terbatas.

Di negeri Piliana, kita masih menjumpai warga beragama Suku, yang hidup membaur bersama pemeluk agama Kristen. Mereka secara bertahap “baru” diajak mengenal Yesus. Tidak berlebihan jika nama Piliana dipakai sebagai nama jemaat atau kampung.

Piliana sendiri berasal dari suku kata “Pilianeka” (dari bahasa Soupa atau bahasa ‘gunung’), yang berarti “sudah terang”. Dari pengertian itu, apakah kelompok-kelompok pemukim yang masih memeluk agama suku tergolong orang yang “masih gelap”? Diperlukan kajian sosiologis-antropologis atau etnografis yang mendalam.

Secara umum, di wilayah pelayanan Klasis Telutih terdapat sejumlah kelompok pemukim yang masih beragama suku. Di belakang Piliana (arah ke gunung), ada pemukiman Soalihu yang masih kental memeluk agama suku. Mereka sangat sulit didekati, apalagi dijumpai.

Kecuali ada pemberitahuan terlebih dahulu. Keenganan mereka untuk didekati dan dijumpai, mungkin karena penyakit kusta atau lepra yang mereka derita.

Dari beberapa tuturan orang tua, Pdt. Jan W. Hehakaya, S.Th adalah sosok yang mencoba membuka keterisolasian kelompok manusia di Piliana. Ia dianggap cukup berhasil mengobati beberapa orang yang sakit kusta. dan mengajak mereka tinggal bersama di Piliana. Kini, diperlukan pendekatan baru untuk “membawa terang” kepada pemukim Soalihu.  (MC GPM/toeb)