Kisah Penemuan Salju Abadi Puncak Jaya yang Terancam Hilang

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Selasa, 27 Desember 2022 | 07:46 WIB - Redaktur: Untung S - 9K


Jakarta, InfoPublik - Wilayah Papua pernah menjadi bahan tertawaan orang Belanda. Itu terjadi pada abad 17, kala sejumlah pelaut Belanda melakukan perjalanan di sepanjang pesisir Papua. Belanda yang baru saja mengambilalih jalur perdagangan cengkih dari Portugis, Spanyol, dan Inggris, penasaran dengan wilayah Nusantara. Merekapun lantas menyisir daerah nan elok itu.

Sejumlah orang ikut dalam perjalanan itu. Jan Carstenz, salah satunya. Carstenz adalah seorang pelaut yang dikagumi orang-orang daratan Eropa karena keberaniannya.

Mengutip catatan Arkeolog Hari Suroto, saat para pelaut melayari sisi selatan Laut Arafura, Carstenz meneropong dataran Papua yang hijau. Ia takjub dengan keelokan Papua. Pepohonan nan rimbun, pegunungan yang di puncaknya diselimuti salju.

Ia pun bercerita kepada koleganya dari Eropa. Alih alih kagum, koleganya malah menertawainya. Apa yang dilihat Carstenz itu memang seakan dilupakan.

Namun Belanda mulai tersadar akan kekuasaannya atas Papua setelah Inggris pada 1884 memproklamasikan kekuasaannya di wilayah bagian tenggara Nugini. Pada tahun yang sama, Jerman juga mengibarkan benderanya di timur laut Nugini.

Tak ingin dua negara itu mengklaim Papua, Belanda kemudian bertindak cepat dengan mengklaim Raja Ampat hingga 141 derajat di bagian timur (garis yang membentang antara timur Kota Jayapura hingga ke Merauke) menjadi wilayah kekuasaannya.

Garis batas antara Papua dengan Papua Nugini disahkan pada 16 Mei 1895 di s’Gravenhage Belanda. Klaim Belanda itu akhirnya diakui Inggris pada 1895, diikuti oleh pengakuan Jerman pada 1910.

Untuk meneguhkan klaimnya atas Papua, orang-orang Belanda mulai melakukan ekspedisi. Sejumlah orang rupanya teringat cerita yang pernah dikemukakan Carstenz.

Salah satunya adalah H. A. Lorentz, ilmuwan petualang Belanda. Lorentz merasa tertantang membuktikan cerita yang pernah dikemukakan Carstenz.

Belanda juga bertekad, jika memang benar ada pegunungan bersalju di Papua --yang menjadi kekuasaan Belanda--, maka yang menaklukkan pertama kali haruslah orang Belanda, bukan orang Eropa lainnya.

Belanda kemudian menugaskan Lorentz memimpin ekspedisi pada 1907. Ekspedisi itu dikawal satu detasemen militer yang tangguh.

Lorentz dan timnya memulai perjalanan dari pesisir tenggara. Mereka menyusuri hulu Sungai Noord atau Sungai Utara dengan perahu. Sungai itu kemudian dikenal sebagai Sungai Lorentz.

Penyusuran dari sungai berlanjut dengan jalan kaki membelah hutan hujan tropis yang belum pernah disentuh siapapun. Tim menghentikan ekspedisinya, karena di tengah perjalanan mereka terkena penyakit beri-beri akibat kekurangan bekal dan asupan vitamin. Petualangan pun itu gagal.

Meski gagal mencapai puncak gunung, Lorentz dan tim berhasil mengidentifikasi flora dan fauna Papua secara ilmiah. Dalam ekspedisi itu mereka juga sempat berhubungan dengan penghuni wilayah Suku Nduga dan Dani.

Selang dua tahun, Lorentz kembali melakukan ekspedisi. Ia kembali merunut rute yang sebelumnya telah dilaluinya. Banyak hal yang ia inventarisir pada ekspedisi kedua ini. Mulai dari spesimen tumbuhan hingga hewa yang ada di daerah itu.

Tak seperti pada eksepedisi pertama, pada ekspedisi kedua ini mereka membawa berkal yang cukup. Pada ekspedisi kedua ini mereka memang bertekad membuktikan apa yang pernah diceritakan Carstenz.

Tekad itu tak sia-sia. Semakin tinggi mereka mendaki, ia melihat pohon hutan kian renggang dan oksigen yang tipis. Tanah basah yang mereka injak bersemu putihnya salju. Makin lama salju kian tebal, dan saat mendongak mereka bertemu pemandangan kolosal hamparan salju di lereng gunung. Gunung bersalju itu kemudian diberi nama Wilhelmina (nama Ratu Belanda). Sedangkan puncak Jaya dengan ketinggian mencapai 4.884 mdpl, Puncak Jaya atau Carstensz Pyramid memiliki salju abadi.

Saat itu, luas es di Puncak Jaya diestimasi sekitar 20 km2. Namun karena pemanasan global, es yang ada di puncak itu menipis. Pada 2002, diperkirakan menipis menjadi 2 km2, 1,8 km2 pada 2005; 0,6 km2 pada 2015, 0,46 km2 pada Maret 2018, dan 0,34 km2 pada Mei 2020.

Diramalkan, salju terakhir yang ada di Puncak Jaya itu terancam hilang pada 2026.

Ilustrasi salju di puncak gunung. Foto: Enrique/Pixabay