Melacak Muasal Halalbihalal

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Minggu, 1 Mei 2022 | 01:56 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 363


Jakarta, InfoPublik - Lebaran sudah tinggal hitungan hari. Seperti yang terjadi jauh sebelumnya, setelah lebaran biasanya masyarakat Indonesia menggelar acara halalbihalal. Acara ini menjadi ajang silaturahmi antar tetangga atau kerabat lainnya. Pelaksanaan halalbihalal juga dilakukan di istana kenegaraan, universitas, hingga trah keluarga besar.

Halalbihalal merupakan tradisi khas, otentik Indonesia. Kita tak akan pernah menjumpai halalbihalal ini di negara lain, termasuk di negara Islam sekalipun. "Saya lima tahun merayakan Idulfitri di Mesir, tetapi tidak ada (halalbihalal) yang seperti di Indonesia," kata KH. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, suatu ketika.

Kata halalbihalal, jelas Gus Mus, juga tak ada dalam kamus Bahasa Arab. Kata itu justru adanya di Kamus Bahasa Indonesia. Dalam KBBI, halalbihalal berarti aktivitas maaf memaafkan setelah menuaikan puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Ia juga bisa bermakna silaturahmi.

Ya halalbihalal memang tradisi khas Indonesia. Kata ini dipopulerkan oleh salah satu pendiri NU, KH. Wahab Chasbullah pada 1948. Tiga tahun setelah kemerdekaan itu, Indonesia dilanda gejala disentegrasi bangsa. Elite politik bertengkar dan tak mau duduk berdialog dalam satu forum.

Melihat kondisi itu, Presiden Soekarno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara pada pertengahan bulan Ramadan 1948. Kedua orang itu berdiskusi tentang situasi dan kondisi bangsa yang sedang gaduh. Lalu Soekarno meminta saran kepada KH. Wahab Chasbullah. “Ya sebaiknya diselenggarakan silaturahim. Apalagi Idulfitri kan umat muslim disunahkan bersilaturahmi,” saran Kiai Wahab.

Soekarno kurang sreg dengan istilah silaturahmi itu. "Silaturahmi itu kan biasa. Bisa enggak dengan istilah yang lain,” kata Bung Karno.

“Itu gampang,” kata Kiai Wahab.

“Gampang bagaimana? Mereka terus saja bertengkar, kok,” kata Bung Karno.

“Elite politik itu tak mau bersatu karena saling menyalahkan. Padahal, saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halalbihalal’. Bagaimana?” kata Kiai Wahab.

Mendengar istilah halalbihalal itu, Soekarno langsung setuju. Saat Idulfitri 1948, Bung Karno lalu mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara bersilaturahmi. Acara itu bertajuk “Halalbihalal”.

Sejak saat itu, halalbihalal diselenggarakan Soekarno setiap tahun. Dan tradisi itu terus berlanjut hingga sekarang.

Quraish Shihab menyebut, tradisi halalbihalal merupakan pribumisasi ajaran Islam masyarakat Indonesia. Jika dilacak dalam bahasa Arab, terdapat sejumlah pendekatan untuk memaknai halalbihalal. Pertama, halal dalam hukum Islam merupakan lawan dari haram. Perbuatan haram merupakan laku dosa yang diancam dengan siksa neraka. Karena itulah, pemaknanaan halalbihalal dapat dipahami sesuai konteks yang pernah disampaikan KH. Wahab Chasbullah kepada Presiden Sukarno pada 1948.

Dalam artian ini, halalbihalal adalah aktivitas untuk "menghalalkan" hubungan tak harmonis (haram). Artinya, halalbihalal bertujuan untuk harmonisasi relasi yang renggang atau malah sebelumnya bermusuhan.

Kedua, kata Quraish, dalam bahasa Arab, halalbihalal dapat dirujuk kepada kata halla atau halala yang artinya menyelesaikan masalah atau kesulitan, atau mengurai benang kusut, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dalam konteks ini, halalbihalal diharapkan bisa dijadikan menyelesaikan hubungan yang sedang kusut itu.(*)

(Pedagang musiman membuat bungkus ketupat di kawasan Pasar Pepedan, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (30/4/2022). Pedagang musiman yang menjual bungkus ketupat seharga Rp1.000 per buah tersebut mulai ramai menjajakan dagangannya jelang Lebaran. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/tom.)