Tembakau, Ancaman atau Pahlawan?

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Senin, 31 Mei 2021 | 17:12 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 844


Jakarta, InfoPublik - Setiap 31 Mei, dunia memperingati hari tanpa tembakau atau World No Tobacco Day. Pada tahun ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengusung tema Commit to Quit atau berkomitmen untuk berhenti. WHO merekomendasikan semua orang memahami dan meningkatkan kesadaran akan risiko penggunaan tembakau dan produk turunannya bagi kesehatan. Untuk mengkampanyekan gerakan berhenti merokok, sejumlah komunitas membuat kampanye berani berhenti merokok dengan menandatangi petisi daring 31 Mei hingga 31 Desember 2021.

Gerakan tanpa tembakau ini sebenarnya sudah dilakukan sejak 1988. Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei menyerukan para perokok agar berhenti merokok (mengisap tembakau) untuk kesehatan bersama.

Menurut Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dr Sumarjati Arjoso SKM, konsumsi tembakau menyebabkan berbagai masalah yang merugikan masyarakat.

Dampak konsumsi tembakau pada kesehatan mengakibatkan berbagai penyakit tidak menular atau penyakit katastropik yang menguras biaya kesehatan tinggi, mengurangi produktivitas dan di masa wabah COVID-19 menjadi penyakit penyerta yang memperparah kondisi pasien COVID-19.

Selain itu, kata Sumarjati, prevalensi konsumsi tembakau yang tinggi berpengaruh terhadap kemiskinan dan stunting yang belum bisa diselesaikan di Indonesia. Prevalensi konsumsi tembakau juga meningkat di kalangan anak dan
remaja.

Pertanyaannya, sejauhmana efektifitas gerakan yang sudah berusia 33 tahun ini?

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, memperlihatkan prevalensi perokok di atas usia 15 tahun mencapai 33,8 persen dan penduduk usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018. Tingginya angka ini membuat Indonesia berada diurutan ketiga dunia di bawah Cina dan India.

Menurut data TCSC IAKMI, konsumsi rokok di Indonesia, presentase tertinggi dilakukan oleh kelompok pendapatan rendah, seperti nelayan yang mencapai 70,4 persen dan petani atau buruh sebanyak 46,2 persen.

Melihat masih tinggi jumlah perokok di Indonesia, TCSC IAKMI memberikan lima rekomendasi. Rekomendasi ini diharapkan dapat diambil sebagai pertimbangan kebijakan untuk menurunkan prevalensi konsumsi rokok di Indonesia.

1. Perbesar gambar peringatan di bungkus
Pemerintah Indonesia diminta untuk segera memperkuat kebijakan mengenai ukuran peringatan kesehatan bergambar menjadi 90 persen, serta ukuran tulisan diperbesar, sehingga mudah dibaca.

Tidak hanya itu, bagian atas dari sisi tutup kemasan atau bungkus rokok harus termasuk area peringatan kesehatan bergambar. Berdasarkan penelitian deskriptif yang dilakukan oleh TCSC IAKMI pada akhir 2017 di 16 kota, sebanyak 79,2 persen menilai, kemasan rokok dengan peringatan kesehatan bergambar 90 persen sangat efektif dalam menginformasikan bahaya rokok kepada masyarakat.

"Gambar ini diharapkan mengurangi daya tarik untuk merokok (bagi yang tidak merokok), dan yang sudah merokok ingin berhenti merokok," ujar Sumarjati.

2. Dilarang dijual untuk anak 18 tahun ke bawah
Sebaiknya ada kebijkan jelas terhadap pelarangan penjualan rokok kepada anak usia di 18 tahun ke bawah. Pelarangan usia 18 tahun ke bawah ini juga harus tertuang atau tercantum di sisi samping kanan dari bungkus rokok.

3. Perhatikan penempatan pita cukai
Menurut Sumarjati meski ada peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok, tetapi penempatan pita cukai seringkali menutupinya. "Pita cukai harusnya tidak boleh menutupi peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok itu, biar jelas terbaca dan jelas terlihat (gambar dampak kesehatan akibat rokok)," ujar dia.

Hal ini juga harus disertai menghapus pencantuman informasi mengenai kadar tar, nikotin, dan zat adiktif lainnya.

4. Larang penjualan rokok eceran
Strategi lain adalah melarang penjualan rokok eceran. Sebab, dengan tidak adanya larangan penjualan rokok eceran, masyarakat masih dengan mudah membelinya.

Bahkan, perokok yang membeli secara eceran ini seringkali adalah mereka yang usianya 18 tahun ke bawah. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menerapkan standar pengemasan rokok minimal berisi 20 batang per bungkus. "Jadi minimal beli rokok harus satu bungkus, biar orang sulit untuk beli rokok dan bisa mendorong mereka berhenti merokok," ujar dia.

5. Integrasi penerapan dan pengawasan kebijakan rokok
Untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia ini, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu pihak. Karenanya, TCSC IAKMI merekomendasikan adanya peningkatan kemitraan dari pemerintah dengan perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan berbagai organisasi profesi.

Peningkatan kemitraan ini sangat baik dilakukan terkait penerapan dan pengawasan secara periodik dan terus-menerus mengenai kebijakan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.

Rokok dan Dilemanya
Meski beragam strategi menekan jumlah perokok telah dilakukan --seperti menaikkan cukai--, namun toh jumlah perokok makin ugal-ugalan. Bagi negara, menekan jumlah perokok sama dengan mengurangi pedapatan negara.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, kenaikan harga rokok melalui cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok membuat penerimaan negara di sektor tersebut tumbuh signifikan. Kontribusinya mencapai 97 persen dari total penerimaan cukai. Sepanjang kuartal I/2021, realisasi penerimaan cukai mencapai Rp 49,56 triliun atau 27,54 persen dari targetnya. Sedangkan CHT Rp 48,22 triliun atau 27,75 persen dari target.

“Penerimaan CHT tumbuh signifikan sebesar 73,92 persen yoy [secara tahunan]. Tingginya pertumbuhan disebabkan limpahan pelunasan pemesanan pita cukai tahun 2020 ke 2021 sebesar Rp 27 triliun,” demikian rilis yang pernah dikeluarkan Kemenkeu dalam terbitan APBN Kita Edisi April 2021, akhir April lalu.

Selain itu, tingginya pemesanan pita cukai atau produksi tembakan pada Januari dan pengaruh kenaikan tarif yang berlaku di Februari turut mendorong capaian penerimaan CHT. Cukai rokok memang bak pahlawan bagi negara.

Lihatlah pada 2018, saat BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran mencapai Rp 16,5 triliun. berdarah-darah dengan keuangannya. Saat itu BPJS Untuk menambal defisitnya, pemerintah menyuntiknya dengan hasil pendapatan cukai rokok. Suntikan dana itu membuat BPJS Kesehatan segar dan kembali berenergi.

Aturan penyuntikan dana itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyediaan Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dari aturan itu pemerintah akan menyuntikkan dana Rp 4,9 triliun.

Nilai yang diambil untuk dana talangan BPJS Kesehatan adalah 75% dari separuh pajak yang didapat. Cukai rokok yang diterima tahun 2018 sendiri mencapai Rp 159,6 triliun.

Berawal dari Keprihatinan
Peringatan hari tanpa tembakau sedunia bertujuan menyerukan para perokok agar "berpuasa" atau tidak merokok (menghisap tembakau) selama 24 jam serentak di seluruh dunia. Gerakan ini dilakukan untuk menarik perhatian dan menyebarluaskan kebiasaan merokok dan dampak buruknya terhadap kesehatan.

Gerakan hari tanpa tembakau ini dilakukan oleh negara-negara anggota WHO pada tahun 1987. Gerakan ini berawal dari keprihatinan sejumlah negara terhadap epidemi tembakau dan kematian serta penyakit lain yang ditimbulkannya. Pada tahun 1987, Majelis Kesehatan Dunia mengeluarkan Resolusi WHA40.38, yang menyerukan tanggal 7 April 1988 untuk menjadi hari tanpa rokok sedunia.

Pada tahun 1988 juga, WHO mengesahkan Resolusi WHA42.19. Resolusi ini menyerukan agar perayaan Hari Tanpa Tembakau Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 31 Mei. Resolusi tersebut juga muncul karena menyadari bahwa penggunaan tembakau telah menyebabkan lebih dari dua juta kematian dini di seluruh dunia setiap tahunnya pada waktu itu.

Tema World No Tobacco Day 2021 Tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2021 adalah Commit to quit atau Berkomitmen untuk berhenti. Saat ini, tembakau menyebabkan 8 juta kematian setiap tahunnya. Bukti yang dirilis tahun ini menunjukkan bahwa perokok lebih mungkin mengembangkan penyakit parah dengan COVID-19 dibandingkan non-perokok. Pandemi COVID-19 telah menyebabkan jutaan pengguna tembakau mengatakan mereka ingin berhenti. Berkomitmen untuk berhenti hari ini dan tanda tangani janji. Commit to Quit/Berkomitmen untuk Berhenti Berhenti dari ketergantungan tembakau bisa menjadi tantangan, terutama dengan tekanan sosial dan ekonomi tambahan yang datang sebagai akibat dari pandemi, tetapi ada banyak alasan untuk berhenti.

Di seluruh dunia, sekitar 780 juta orang mengatakan mereka ingin berhenti, tetapi hanya 30% dari mereka yang memiliki akses ke alat yang dapat membantu mereka melakukannya. Bersama dengan para mitranya, WHO akan menyediakan alat dan sumber daya yang dibutuhkan orang untuk membuat upaya yang berhasil.

Tembakau dan Mitosnya
Bagaimana sebenarnya tembakau ini menjadi candu bagi masyarakat dunia? Pada abad ke-16, masyarakat awalnya memandang tembakau sebagai "obat dari Tuhan". Sebagai obat, mereka menganggap tembakau bisa menyelamatkan nyawa. Karena dianggap mampu menyelamatkan nyawa itu, tanaman ini juga mendapat julukan 'ilalang mematikan'.

Anggapan tembakau "sebagai obat dari Tuhan" itu membuat masyarakat menganggap merokok sebagai kebiasaan sehat. Mengutip berbagai sumber, karena dianggap sebagai kebiasaan sehat, perilaku itu berlangsung selama berabad-abad. Karena anggapan itu juga, tanaman tembakau, Nicotiana, mendapat julukan 'tanaman suci'.

Seorang peneliti medis asal Belanda bernama Gilles Everaerts meyakini bahwa sedemikian tingginya manfaat tembakau, akan berakibat pada pekerjaan dokter. Karena manfaat besar itu, kata dia, sebagian dokter akan menganggur.

Dalam dunia medis, Christopher Columbus tercatat menjadi orang Eropa pertama yang mencoba menggunakan tembakau untuk tujuan medis. Colombus menyadari pada 1492 tembakau banyak diisap penduduk di kepulauan yang sekarang bernama Kuba, Haiti, dan Bahama. Kadang kala daun tembakau dibakar layaknya obor untuk membantu mensucihamakan atau mengusir penyakit dari sebuah tempat.

Di Venezuela, tembakau juga dipakai sebagai pasta gigi, dicampur limau atau kapur. Hal ini juga terjadi di India.

Bukti-bukti bahwa tembakau bisa dipakai sebagai obat disodorkan sejumlah orang pada masa itu. Penjelajah Portugis, Pedro Alvares Cabral, yang tiba di Brasil pada 1500-an, melaporkan bahwa betum (nama lain tembakau) dipakai untuk mengobati penyakit seperti kulit bernanah dan polip.

Di kawasan Meksiko, seorang biarawan Spanyol belajar dari dokter setempat untuk belajar mengobati penyakit yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar pada leher. Untuk mengobati kelenjar-kelenjar itu, mereka menaburkan daun tembakau yang sudah ditumbuk dengan campuran garam.

Pada abad-abad berikutnya, menurut Wellcome Collection yang merupakan museum sekaligus perpustakaan kesehatan, pipa atau rokok menjadi aksesori wajib bagi dokter, dokter bedah, dan mahasiswa kedokteran — khususnya di ruang bedah.

Mereka dianjurkan mengisap rokok secara bebas untuk mengusir bau jenazah serta melindungi mereka dari ancaman penyakit yang timbul dari jenazah.

Saat wabah penyakit merebak di London pada 1665, anak-anak diperintahkan mengisap tembakau di ruang kelas. Asap tembakau diyakini dapat melindungi manusia dari aroma tidak sedap yang dianggap sebagian orang membawa penyakit.

Meniupkan asap tembakau ke dalam telinga juga dianjurkan untuk mengobati orang sakit telinga pada abad ke-18.

Namun, di antara kalangan penganjur tembakau sebagai obat mulai skeptis akan manfaat tembakau itu. Dokter asal Inggris bernama John Cotta, yang menulis sejumlah buku kedokteran dan ilmu sihir, pada 1612 merenungkan apakah tembakau bakal menjadi "monster dari banyak penyakit".

Skeptisisme tembakau sebagai obat mulai muncul pada tahun 1828 di mana saat itu ditemukan adanya zat nikotin pada daun tembakau. Meski demikian, pengobatan memakai tembakau masih dapat ditemui pada zaman itu, termasuk penggunaan pada anus untuk melawan sembelit, pendarahan wasir, dan mengatasi cacing.

Ketika dunia medis mulai menyoroti kebiasaan merokok pada 1920-an dan 1930-an, merek rokok Camel mencoba meyakinkan para konsumen dengan mengklaim bahwa kaum dokter merekomendasikan publik untuk merokok dan para dokter mengisap rokok Camel.

Perusahaan rokok itu juga menyebut merokok direkomendasikan oleh para penyanyi untuk "mengusir ketidakmurnian pada organ tenggorokan yang sensitif".

Namun itu hanya mitos. Selama 33 tahun terakhir, efek buruk merokok untuk kesehatan amat terang benderang. Juga untuk perokok pasif. Karena efek buruk itu, banyak negara melarang kegiatan merokok di tempat-tempat umum yang tertutup.

Gerakan untuk berhenti merokok juga dilakukan dengan sejumlah strategi yang mengejutkan. Sebut misalnya, di sejumlah negara, mereka mewajibkan produsen rokok memasang gambar-gambar seram pada bungkus rokok, seperti foto pasien kanker paru, jantung, dan penyakit lain yang disebabkan tembakau.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap tembakau adalah "epidemi" dan "salah satu ancaman kesehatan publik terbesar yang pernah dihadapi dunia".

Organisasi tersebut mendesak negara-negara untuk mengadopsi rangkaian kebijakan demi mencegah penggunaan tembakau, seperti menaikkan pajak rokok serta melarang iklan dan sponsor oleh perusahaan tembakau.

Dengan strategi itu, WHO mengklaim, pemakaian tembakau menurun. Sebanyak 20% dari penduduk dunia merokok tembakau pada 2016, turun dari 27% pada 2000.

(Warga berada di kawasan larangan merokok Taman Balai Kota, Bandung, Jawa Barat, Jumat (28/5/2021). Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan Perda Nomor 10/2021 tentang KTR (Kawasan Tanpa Rokok) antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, transportasi umum, tempat kerja, tempat umum/publik dengan denda Rp500 ribu atau sanksi kerja sosial apabila warga kedapatan melanggar. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/rwa.)