Mengenal Infodemi di Kala Pandemi

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Senin, 15 Februari 2021 | 13:56 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 726


Jakarta, InfoPublik - Dari Muenchen, Jerman, seruan itu dikumandangkan. Dua bulan setelah virus korona melanda beberapa negara, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus menyerukan agar dunia melakukan perlawanan terhadap pandemi dan infodemi.
 
Infodemi adalah kondisi berkembangnya informasi tentang suatu fenomena tanpa mempetimbangkan unsur kebenaran data dan fakta. Dengan kata lain, infodemi ini merupakan berita bohong yang menyebar dengan cepat dan mudah di dunia maya karena campur tangan manusia.
 
Berita palsu tentang COVID-19 mulai menyebar tak lama setelah virus itu ditemukan di Wuhan, China, Desember 2019. Pun saat sejumlah negara mulai berlomba-lomba menciptakan vaksin, berita palsu tentang vaksin pun mulai berhamburan.
 
Infodemi mendapat perhatian besar karena berita palsu menyebar lebih cepat dan lebih mudah ketimbang virus koronanya sendiri. Sebaran berita palsu tersebut sesungguhnya sama berbahayanya dengan virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab COVID-19.
 
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dari Januari hingga Oktober 2020 lalu, mereka menemukan 1.197 hoaks di media sosial. Dari jumlah itu, ditemukan 1.759 akun yang menyebarkan hokas di media sosial.
 
"Jumlah hoaks COVID-19 itu tersebar di 4 platform digital. Di Facebook ada 1.497, Instagram 20, di Twitter 482, dan di YouTube 21," kata Menkominfo Johnny G Plate.
 
Dari juga itu, yang sudah ditakedown, sebanyak 1.759. Rinciannya di Facebook ada 1.300, Instagram 15, Twitter 424, dan YouTube 20.
 
Ada tiga jenis infodemi yang beredar di Indonesia. Pertama, berupa disinformasi, yakni informasi sengaja dibuat salah untuk mendestruksi apa yang sudah beredar.
 
Kedua, malinformasi yaitu info yang faktual, namun dibuat untuk orang tertentu dengan tujuan tertentu. Ketiga, berupa misinformasi yakni informasi yang diberikan tidak tepat, namun, tidak ada unsur kesengajaan.
 
Menurut WHO, informasi ini mencakup upaya yang disengaja untuk menyebarkan informasi yang salah untuk merusak respons kesehatan masyarakat dan mendorong agenda alternatif suatu kelompok atau individu. Dampaknya sangat luar biasa. Informasi itu bisa membahayakan kesehatan fisik dan mental, meningkatkan stigma terhadap COVID-19 dan penyintasnya, hingga berdampak pada kepatuhan masyarakat akan sistem kesehatan.
 
Jika tak diperangi, ia bisa mengurangi efektivitas dan membahayakan kemampuan negara untuk menghentikan pandemi. 
 
Kini, ketika sejumlah negara sedang menguji coba vaksin COVID-19, kemunculan hoaks juga mulai berhamburan. Sejak awal hingga akhir Januari 2021 setidaknya ada 27 hoaks seputar vaksin COVID-19.
 
Bentuk persebaran hoaksnya beragam, mulai dari tulisan, foto hingga video. Informasi hoaks yang disajikan berupa proses penyuntikan vaksin hingga dampak vaksin yang membuat tidak sadarkan diri.
 
Kesalahan informasi atau berita palsu itu tentu saja akan membuat kecemasan. Karena itu, sejak 2 Februari 2020, WHO telah mengingatkan bahaya infodemik ini melalui rilis hariannya. Menurut WHO, masifnya infodemi membuat orang semakin kesulitan memercayai informasi yang diterima.
 
Informasi yang salah itu tentu menimbulkan kecemasan dan kepanikan. Yang fatal, infodemik ini juga dapat menyebabkan pemerintah salah dalam mengambil srategi memerangi pandemi.
 
Infodemi jika tak diperangi, dalam jangka panjang dapat menimbulkan penyakit fisik dengan perantara mekanisme psikosomatik. 
 
Untuk menghadapi infodemi ini, masyarakat perlu memilih sumber informasi kredibel. Sumber resmi bisa didapat dari WHO, Satgas COVID-19, Kementerian Kesehatan, laman informasi COVID-19 yang dibuat pemerintah daerah, dan media massa terpercaya.
 
(Ilustrasi berita bohong. Foto: Jan Helebrant/Pixabay.)