Emak-emak Penjaga Hutan

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Selasa, 22 Desember 2020 | 11:24 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 548


Jakarta, InfoPublik - Masdalina (43 tahun) mulai bersiap pagi itu. Mengenakan kaos hijau dan sepatu bot, ia bersama para ibu lainnya berkumpul di satu titik. Mereka terlihat tekun mendengarkan instruksi dari Sumini (46), ketua Lembaga Pelindung Hutan Kampung Mpu Uteun.

Setelah instruksi diberikan, ibu-ibu yang tergabung dalam organisasi Lembaga Pelindung Hutan Kampung Mpu Eteun ini berangkat. Mereka berpatroli menyusuri kawasan ekosistem pegunungan Leuser, Aceh. Mereka inilah ranger atau penjaga hutan kawasan itu.

Tak semua yang tergabung dalam organisasi itu perempuan. Kaum lelaki juga ada yang bergabung. Namun, di organisasi ini ibu-ibu itu menjadi andalan dalam menghadapi perambah hutan.

Sudah dua tahun Masdalina bergabung dalam organisasi itu. Ini merupakan kesibukan baru bagi ibu dua anak ini. Selain menjadi ibu rumah tangga, ia juga menjadi pekerja kebun, dan kader posyandu.

Tujuan bergabung ke organisasi Lembaga Pelindung Hutan Kampung Mpu Eteun tak lain karena ia ingin hutan yang ada di daerahnya terjaga. Hutan bagi Masdalina dan warga Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah merupakan nyawa. Dari hutan mereka banyak menggantungkan hidup, terutama pasokan air.

"Jadi MpU Uteun ini sangat bersemangat untuk menjaga hutan, agar tidak terus terjadi banjir bandang yang sangat mengerikan," kata Sumini.

Menurut Sumini, ada sekitar 251 hektare area hutan lindung yang berada di bawah tanggung jawab mereka. Mereka juga bertugas menjaga Daerah Aliran Sungai (DAS) Wih Gile yang menjadi sumber mata air untuk enam desa tetangganya.

"Dari situ kami terus ingin bersemangat dengan ibu-ibunya, gimana terus menerus kami akan menjaga hutan, agar tetap sumber air minum kami, sumber kehidupan kami itu tetap terjaga terus menerus," kata Sumini.

Tak setiap hari mereka melakukan patroli. Dalam sebulan mereka hanya melakukannya selama lima hari. Sekali melakukan patroli mereka diberi upah Rp 100.000.

Menurut Sumini, kehadiran ranger perempuan dalam organisasinya sangat bermanfaat. Para ranger perempuan ini sangat manjur dalam menghadapi para perambah hutan yang kebanyakan laki-laki. "Mereka lebih didengarkan para perambah. Tapi kalau bapak-bapak yang ngomong langsung sama-sama panas," ujar Sumini.

Dengan kehadiran ranger ini, perambah hutan mulai berkurang. Kawasan pegunungan pun terjaga.

Itu Aceh. Di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, kita juga bisa menyaksikan kehadiran emak-emak dalam menjaga hutan Puar Lolo. Seperti yang dilakukan Skolastika M Ermina (58 tahun). Ia dan para ibu rumah tangga yang tergabung dalam Kelompok Kembang Mekar melakukan aktivitas yang diberi nama Pemantauan Layanan Alam.

Mereka secara berkelompok masuk hutan untuk melihat kondisi mata air, menanam pohon, memeriksa kondisi pohon, dan memantau burung.

Aktivitas kelompok ini bermula saat melihat kondisi air di daerahnya makin menyusut. Para ibu yang menjadi penjaga dapur terkena dampaknya. Apalagi jika musim kemarau tiba. Mereka harus rela berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air.

Menyusutnya pasokan air ini dikarenakan aktivitas penebangan hutan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Karenanya, agar hutan tetap terjaga, Skolastika kemudian membentuk kelompok itu pada 2008. Awalnya hanya ada 24 orang yang semuanya emak-emak. Namun kini sudah berkembang menjadi 38 orang ---28 perempuan dan 10 laki-laki.

Kelompok ini beraktivitas di wilayah hutan Puar Lolo yang berada dalam bentang lama Mbeliling seluas 94.000 hektar. Dari luasan itu, sekitar 73 persen berupa hutan dan sisanya adalah area persawahan, permukiman, dan savana. Pada bentang alam Mbeliling terdapat 34.000 hektar hutan lindung.

Mbeliling menjadi sumber penyedia air yang penting untuk kegiatan pertanian ataupun untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, terutama di Labuan Bajo, sebuah kota wisata yang sedang berkembang pesat.

Gabriel Giling, tokoh masyarakat setempat, mengakui, masyarakat sudah menikmati hasil kerja para ibu rumah tangga di desa itu. Selain air bersih, kicau burung-burung di desa itu semakin sering terdengar. Burung membantu penyerbukan tanaman komoditas seperti cengkeh. (Ilustrasi hutan. Foto: Falco/Pixabay)