:
Oleh Norvan Akbar, Senin, 18 Februari 2019 | 09:51 WIB - Redaktur: Admin - 702
JPP, JAKARTA - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Benny Riyanto mengatakan bahwa standar layanan bantuan hukum Organisasi Bantuan Hukum (OBH) memberi bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu saat ini sedang disusun.
Standar layanan bantuan hukum tersebut, kata dia, diharapkan lebih memberikan perlindungan bagi masyarakat pencari keadilan sewaktu terjadinya penyimpangan pemberian bantuan hukum.
“Pemberian bantuan hukum harus diselenggarakan dengan memenuhi standar minimum yang layak. Sehingga perlu adanya suatu rumusan terkait konsep standar layanan minimum bantuan hukum,” kata Benny dalam Forum Grup Diskusi "Pembentukan Standar Layanan Minimum Bantuan Hukum dan Sinergitas antara Advokat, Paralegal, dan Penyuluh Hukum", di Aula BPHN, Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Benny menambahkan bahwa advokat bernaung pada OBH adalah advokat yang istimewa. Sebab, menurutnya, separuh dari niat mereka berpraktek di dunia kepengacaraan membantu masyarakat kurang mampu membutuhkan pendampingan hukum.
Pemerintah melalui BPHN Kemenkumham memberikan apresiasi dengan mengucurkan anggaran bantuan hukum terhadap OBH terakreditasi dan terverifikasi. Sedangkan untuk standar layanan minimum bantuan hukum akan menjadi pedoman bagi advokat bernaung pada OBH.
Sejauh ini, menurut Benny, konsep standar layanan bantuan hukum mencakup layanan litigasi maupun non-litigasi. Hal itu dimulai dari tahap permohonan bantuan hukum hingga kasus itu berkekuatan hukum tetap.
“BPHN sendiri masih terus menyempurnakan konsep ini dengan meminta masukan dari stakeholder agar masyarakat pencari keadilan dapat merasakan manfaat pengaturan ini,” ujar Kepala BPHN Kemenkumham tersebut.
Hingga saat ini, tercatat ada 524 OBH sudah terakreditasi dan terverifikasi. Juga tercatat total sebanyak 2.557 advokat didalam OBH itu. Jumlah advokat tersebut, masih sangat minim dibanding dengan jumlah penduduk, ditambah sebaran OBH pada Kabupaten/Kota yang belum merata. Pasalnya, dari 514 Kabupaten/Kota, baru 512 Kabupaten/Kota yang memiliki OBH di wilayahnya.
“Standar Layanan Minimum Bantuan Hukum ini mengarahkan Organisasi Bantuan Hukum untuk melaksanakan kegiatan bantuan hukum kepada orang miskin. Sesuai dengan pedoman standar layanan yang nantinya akan dirumuskan bersama,” ucap Benny.
Ia meneruskan, penyusunan konsep standar layanan bantuan hukum tersebut masih terus disempurnakan BPHN Kemenkumham dengan melibatkan organsisasi profesi advokat, misalnya Perhimpunan Advokat Indonesia dan Konggres Advokat Indonesia.
Selain itu juga melibatkan kalangan penegak hukum seperti Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, serta meminta masukan dari sejumlah Kementerian/Lembaga, antara lain Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, serta masyarakat sipil maupun LSM.
Sementara itu, Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum M Yunus Affan mengatakan bahwa BPHN akan menjaring masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan standar layanan minimum bantuan hukum.
Dalam pengalamannya, Yunus khawatir ada perlakuan yang berbeda dari advokat kepada masyarakat pencari keadilan, terutama masyarakat tidak mampu. Padahal, baik UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum maupun UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengamanatkan bahwa advokat dilarang menelantarkan klien yang meminta bantuan hukum.
“Masyarakat tidak mampu yang mendapatkan bantuan hukum gratis tidak cukup mengucapkan terima kasih ketika dilayani dengan baik. Mereka akan berlinang air mata karena terharu,” ujar Yunus.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengapresiasi upaya BPHN Kemenkumham dalam menginisasi pembuatan standar layanan bantuan hukum.
Namun, sebelum pada tahap itu, Isnur mengusulkan supaya BPHN memetakan permasalahan yang dialami OBH agar mendapatkan gambaran kondisi di lapangan.
“Bagi kami, jangan sampai uang (anggaran bantuan hukum) itu disalahgunakan. Ini bagian dari memastikan uang anggaran bantuan hukum digunakan dengan benar dan optimal,” kata Isnur.
Isnur berpendapat bahwa kerja advokat sekalipun mereka bernaung di bawah OBH adalah kerja yang mandiri. Kemandirian dalam konteks ini, kata Isnur, misalnya terkait cara kerja atau gaya advokat.
Ia mencontohkan bahwa advokat memiliki strategi dan kebiasaan masing-masing dalam menempuh upaya hukum yang akan ditempuh ketika membela klien, baik melalui jalur upaya hukum biasa ataupun menggelar aksi.
"Sehingga jangan sampai standar layanan bantuan hukum itu nantinya masuk terlalu dalam hingga ke ranah yang sepatutnya menjadi bagian kerja advokat yang bebas dari intevensi," terangnya.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI ini menjelaskan bahwa untuk standar layanan minimum bantuan hukum lebih tepat dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM sebagai pedoman OBH.
Maka, dalam pengaturannya, BPHN Kemenkumham harus detil mengatur layanan standar yang wajib diberikan kepada masyarakat pencari keadilan, baik litigasi maupun non-litigasi.
“Dalam hal Konsultasi Hukum, perlu standar minimum, misalnya harus dilakukan tahapan menggali peristiwa hukum, memeriksa bukti-bukti perkara, memberikan pendapat hukum. Sebisa mungkin, klien mendapatkan pendapat hukum. Mereka berhak mendapatkan respons dan advokat wajib berikan advice awal yang cepat untuk dia (klien),” jelas Isnur. (ham)