Pemerintah Akan Hapus Regulasi Yang Tak Sesuai Semangat Deregulasi

:


Oleh Irvina Falah, Kamis, 6 April 2017 | 22:58 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 500


Jakarta, InfoPublik - Pemerintah masih menghadapi masalah adanya kecenderungan kementerian/lembaga yang ingin terlalu mengatur tata niaga perdagangan. Kalangan pelaku usaha pun mengeluhkan banyaknya ketentuan tata niaga yang menimbulkan ketidakpastian usaha dan mendistrosi kegiatan ekonomi masyarakat yang berdampak terhadap industri, investasi, ekspor, dan inflasi.
 
“Pada tahun pertama deregulasi, peraturan tata niaga itu menurun. Namun tahun 2016, dia naik lagi bahkan lebih tinggi dari sebelum pelaksanaan deregulasi,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasutioan saat memimpin Rapat Koordinasi Pembahasan Tata Niaga, hari ini, Rabu (4/4) di Jakarta.
 
Hadir dalam rapat koordinasi antara lain Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi serta perwakilan kementerian dan lembaga terkait.
 
Darmin mengatakan terdapat 23 regulasi tata niaga yang menjadi ketentuan larangan terbatas (Lartas) impor dan ekspor yang terbit dalam masa Paket Kebijakan Ekonomi (PKE),baik yang tidak terkoordinasi dengan Satgas Deregulasi maupun yang sifatnya melengkapi pelaksanaan PKE. “Bentuknya bisa macam-macam. Ada yang rekomendasi. Kalau tidak ada itu, tidak jalan (usahanya),” tambah Darmin.
 
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Edy Putra Irawady menyebut ada 12 peraturan yang merupakan Lartas Baru,di mana 9 di antaranya belum sesuai dengan arahan PKE.  “Juga ada 11 peraturan Lartas bukan dalam rangka PKE, 5 diantaranya bersifat restriktif,” kata Edy.
 
Saat ini, posisi lartas di Indonesia sebesar 51% dari 10.826 pos tarif Harmonized System (HS)(BTKI– Buku Tarif Kepabeanan Indonesia2017) barang impor yang tata niaganya diatur oleh 15 Kementerian/Lembaga (K/L) sebagai ketentuan Lartas.Sebagai pembanding, rata-rata negara ASEAN memiliki ketentuan lartas hanya sebesar 17%. Hal ini disebabkan dalam ketentuan Lartas masing-masing K/L memberlakukan syarat edar (perlindungan konsumen) menjadi syarat impor, seperti SNI dan SKI BPOM.
 
Di sisi lain, terdapat 18 kasus tata niaga yang kalah dalam sengketa WTO, karena telah melanggar ketentuan import licensing  (WTO-GATT ArticleVIII) dan komitmen internasional (WTO Schedule XXI) untuk mentransformasikan non tariff barriers menjadi tarif dengan ikatan maksimal tarif 40%.
 
Untuk itu pemerintah merekomendasikan tiga hal. Pertama,perlunya mengkaji usulan tata niaga dan menerbitkan Inpres untuk membekukan penerbitan peraturan tata niaga baru pada 15 K/L. Kedua, mengevaluasi regulasi ekspor dan impor yang berjalan. Terakhir, melakukan rasionalisasi peraturan, menghilangkan duplikasi/pengulangan, dan pengurangan tata niaga. (ekon)
 
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
 
Farah Heliantina
 
Email: humas.ekon@gmail.com
Twitter: @perekonomianRI 
Website: www.ekon.go.id