Gelar Perkara Dilakukan Terbuka, Presiden Jokowi: Menghindari Syak Wasangka

:


Oleh Irvina Falah, Selasa, 8 November 2016 | 15:20 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 359


Jakarta - Presiden Joko Widodo mengkonfirmasikan langsung arahannya terkait gelar perkara kasus dugaan penistaan agama yang akan dilakukan secara terbuka. Keterbukaan tersebut dilakukan dengan harapan agar publik dapat betul-betul melihat secara langsung proses penyelesaian kasus tersebut agar di kemudian hari tak menimbulkan kebimbangan dan kecurigaan di kalangan masyarakat.

Demikian disampaikan Presiden Joko Widodo usai meninjau perkembangan pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) di Pondok Kelapa Duren Sawit Jakarta Timur, Senin, 7 November 2016.

"Saya minta kemarin untuk terbuka biar tidak ada syak wasangka," terang Presiden.

Presiden Joko Widodo menekankan bahwa dirinya telah memberikan arahan kepada Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian agar gelar perkara kasus dugaan penistaan agama oleh calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama disiarkan melalui media. Meski demikian, pemerintah sebelumnya akan melihat terlebih dahulu terkait aturan hukum maupun Undang-Undang yang mengatur hal tersebut.

"Saya sudah perintahkan kepada Kapolri agar pemeriksaannya terbuka. Tetapi kita juga harus melihat apakah ada aturan hukum atau Undang-Undang yang memperbolehkan atau tidak," ujarnya.

Sebelumnya, Sabtu malam, 5 November 2016, usai menemui Presiden, Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan gelar perkara kasus dugaan penistaan agama tersebut secara cepat dan transparan di hadapan media massa. Saat itu, Tito menyebut bahwa upaya transparansi yang coba dilakukan tersebut dilakukan atas perintah langsung dari Presiden Joko Widodo.

"Tadi Bapak Presiden menyampaikan agar gelar perkaranya dilakukan live (terbuka). Ini perintah eksepsional dari Bapak Presiden untuk membuka transparansi," terang Tito Karnavian.

Dalam gelar perkara tersebut, kepolisian juga akan mengundang berbagai pihak termasuk pihak kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi III DPR RI, para pelapor, saksi-saksi ahli yang diajukan pelapor termasuk Majelis Ulama Indonesia, serta saksi-saksi ahli yang dihadirkan penyidik dari kalangan akademis dan lembaga bahasa yang dianggap kredibel dan netral saat gelar perkara dilakukan.