- Oleh Farizzy Adhy Rachman
- Selasa, 24 Desember 2024 | 09:59 WIB
:
Oleh MC KOTA DUMAI, Jumat, 22 November 2024 | 08:16 WIB - Redaktur: Tri Antoro - 162
Dumai, InfoPublik – Pemerintah Kota (Pemkot) Dumai mendukung penuh upaya Loka Pengawas Obat dan Makanan (POM) Dumai dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR).
Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Wali Kota Bidang Pemerintahan, Kemasyarakatan, dan SDM, Muhammad Yunus, saat membuka acara Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Bersama Cegah Resistensi Antimikroba yang digelar di Ballroom The Zuri Hotel, Kota Dumai, Provinsi Riau pada Kamis (21/11/2024).
"Dalam kesempatan ini, kami mengajak seluruh pihak untuk berkolaborasi dalam meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bahaya AMR. Penting bagi kita mengubah perilaku terkait penggunaan antimikroba secara tidak tepat demi meminimalisasi dampak buruk resistensi antimikroba di masa mendatang," ujarnya di hadapan 700 peserta yang hadir secara luring maupun daring.
Muhammad Yunus menekankan bahwa peran berbagai elemen masyarakat sangat penting dalam mengatasi ancaman AMR. Mulai dari tenaga kesehatan, tenaga pendidik, pelajar, mahasiswa, tokoh masyarakat, hingga media, semuanya memiliki andil dalam memberikan edukasi kepada masyarakat.
"Kita sedang berpacu dengan waktu untuk mengendalikan resistensi antimikroba. Meski sulit, perubahan perilaku dan budaya masyarakat tetap mungkin dilakukan asalkan kita bersama-sama mengupayakannya sesuai kapasitas masing-masing," tambahnya.
Kepala Loka POM Kota Dumai, Ully Mandasari, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari peringatan Pekan Antimikroba Sedunia (World Antimicrobial Resistance Awareness Week/WAAW) 2024. Workshop ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha terhadap bahaya AMR.
Ully menyebutkan, pelaku usaha khususnya di sarana distribusi dan pelayanan kefarmasian diimbau untuk mematuhi peraturan terkait pengelolaan obat, terutama antibiotik, guna mendukung pengendalian AMR.
"Penggunaan antibiotik yang sembarangan menjadi salah satu penyebab utama resistensi antimikroba. Ini termasuk tindakan swamedikasi, peresepan berlebihan, atau penggunaan antibiotik tanpa resep dokter," tegasnya.
Ully menjelaskan beberapa tantangan utama dalam pengendalian AMR, di antaranya:
Data BPOM 2018 menunjukkan bahwa dari 176 apotek di lima provinsi, 83,52% di antaranya menjual antibiotik tanpa resep dokter.
"Situasi ini menunjukkan pentingnya pengawasan lebih ketat dan edukasi kepada masyarakat untuk tidak menggunakan antibiotik secara sembarangan," tambahnya.
Sebagai bentuk dukungan regulasi, Badan POM telah menerbitkan Keputusan Kepala Badan POM Tahun 2020 tentang Peta Jalan Rencana Aksi Pengendalian AMR 2020–2024. Regulasi ini merupakan turunan dari Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang payung hukum pengendalian AMR di Indonesia.
Regulasi ini menekankan kolaborasi lintas sektor, termasuk Kementerian Kesehatan, Loka POM, tenaga medis, hingga pelaku usaha di bidang farmasi untuk mendukung upaya pencegahan AMR.
"Kami berharap masyarakat lebih paham tentang bahaya resistensi antimikroba dan pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak. Informasi yang valid dan terpercaya adalah kunci dalam upaya pengendalian AMR," tutup Ully.