:
Oleh MC KAB AGAM, Minggu, 28 April 2024 | 02:27 WIB - Redaktur: Tri Antoro - 160
Agam, InfoPublik – Kearifan lokal Malam Bainai menjadi salah satu prosesi pernikahan di Kabupaten Agam. Dilakukannya prosesi tersebut hingga kini akan melestarikan kebudayaan itu secara turun temurun pada generasi muda di masa depan.
Seperti yang dilakukan dalam pernikahan Septyana Nur Chaulia Decita, putri Sekda Agam Edi Busti pada Sabtu (27/4/2024).
Berikut sejarah singkat Malam Bainai yang berhasil dihimpun dari Penggiat Budaya Minang, Bagindo Minun.
Dikatakan, Malam Bainai merupakan prosesi dalam adat Minangkabau menjelang pernikahan.
“Konon pada zaman dahulu, Malam Bainai dimaksudkan untuk menghindarkan pengantin wanita dari hal buruk,” ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan, Malam Bainai merupakan ritual melekatkan tumbukan daun pacar merah yang juga dikenal inai ke kuku calon pengantin wanita, yang dilakukan pada malam sebelum hari pernikahan. Tumbukan ini akan didiamkan semalaman, hingga meninggalkan warna kemerahan pada kuku.
Calon Anak Daro, sebutan bagi pengantin wanita, diyakini akan terlindung dari bahaya atau hal-hal buruk lainnya jika sudah melewati prosesi ini.
“Daun pacar merah ini dikenal masyarakat Minang sebagai daun inai, oleh karena itu prosesi ini kemudian dikenal sebagai prosesi Malam Bainai,” jelas Bagindo.
Namun katanya lagi, tidak semua masyarakat di Minangkabau mempercayai hal tersebut sepenuhnya. Sebab pada zaman sekarang prosesi Malam Bainai hanya dianggap sebagai sebuah proses untuk membantu mempercantik kuku calon Anak Daro.
Biasanya kata Bagindo lagi, ada satu busana khusus yang dikenakan calon pengantin wanita ketika Malam Bainai. Busana ini bernama Baju Tokah.
“Dimana sebuah selendang akan dipakaikan menyilang di dada calon pengantin wanita, namun bagian bahu dan lengan dibiarkan terbuka,” katanya.
Selain Baju Tokah lanjut Bagindo, calon Anak Daro juga mengenakan sebuah suntiang atau hiasan pada bagian kepala yang ukurannya lebih rendah.
Kemudian katanya lagi, sebelum melakukan prosesi Malam Bainai, biasanya calon pengantin wanita akan menjalani ritual mandi, biasa dilakukan pada siang atau sore harinya.
“Namun, mandi yang dimaksud sedikit berbeda dengan pengertian pada umumnya. Di Sumatra Barat, calon Anak Daro hanya akan dipercikkan air kembang sebagai simbol saja,” jelas Bagindo.
Ada beberapa peraturan yang wajib dilaksanakan ketika mandi-mandi ini terangnya lagi, salah satunya adalah bahwa yang boleh memercikkan air kembang kepada calon Anak Daro adalah kedua orangtuanya sendiri.
Jumlah percikannya tidak boleh genap, melainkan harus ganjil. Selain itu, ada keluarga besar yang turut hadir sebagai wujud kasih sayang dan restu mereka atas pernikahan tersebut.
“Air yang dipercikkan pun bukan sembarangan air. Air kembang ini akan dipercikkan dengan menggunakan sebuah daun bernama daun sitawa sidingin atau daun cocor bebek,” jelasnya. (MC Agam/Depit)