- Oleh Wahyu Sudoyo
- Rabu, 18 Desember 2024 | 22:35 WIB
: Para peserta Focus Group Discussion Tematik Perpres RAN PE Tahun 2025-2029 Tema: Deradikalisasi dan Pemutusan Kekerasan (Disengagement) untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi, di Depok, Jawa Barat (Biro Perencanaan, Hukum dan Humas BNPT)
Oleh Wahyu Sudoyo, Rabu, 31 Juli 2024 | 06:02 WIB - Redaktur: Untung S - 348
Jakarta, InfoPublik - Kebijakan deradikalisasi dan pemutusan kekerasan dalam Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) fase kedua akan dievaluasi dan diperkuat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melalui Sekretariat Bersama (Sekber) RAN PE.
"Saya berharap kita semua dapat melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang selama ini berjalan sebagai bahan masukan untuk menguatkan kebijakan deradikalisasi dan disengagement dalam RAN PE fase kedua," ujar Direktur Bidang Kerjasama Regional Multilateral, Dionisius Elvan Swasono, dalam keterangannya terkait kegiatan Focus Group Discussion Tematik Perpres RAN PE Tahun 2025-2029 Tema: Deradikalisasi dan Pemutusan Kekerasan (Disengagement) untuk Rehabilitasi dan Reintegrasi, di Depok, Provinsi Jawa Barat, seperti dikutip pada Selasa (30/7/2024).
Menurut Dion, salah satu strategi baru Sekber RAN PE untuk menguatkan kebijakan deradikalisasi adalah penambahan masa program bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang masih tergolong "merah" atau berpotensi melakukan aksi kembali.
"Setiap orang yang sudah menjalani masa hukuman adalah mereka yang sudah melewati program deradikalisasi, tetapi jika ada pihak yang masih terbilang "merah" kita berikan penambahan masa deradikalisasi lagi. Program semacam ini sudah diadopsi oleh negara tetangga kita yakni Australia," ungkapnya.
Kepala Sub Direktorat Bina Lapas Khusus Teroris, Kolonel Marinir Wahyu Herawan, menambahkan, salah satu tantangan deradikalisasi yang selama ini dihadapi adalah sasaran melakukan taqiyyah atau berpura-pura.
Untuk itu Lapas Khusus Teroris memiliki sejumlah langkah antisipasi agar program deradikaisasi ini bisa berjalan dengan baik.
"Keberhasilan program perubahan ideologi sulit diukur jika sasaran melakukan Taqiyyah (berpura - pura). Ini memang tricky (sulit), tapi kami melakukan antisipasi dengan tidak menyebarluaskan metode tes kami dan kami punya tools sendiri," tutur Wahyu.
Sementara itu, Executive Director Yayasan Prasasti Perdamaian, sebagai perwakilan organisasi masyarakat sipil, Taufik Andire, memberikan rekomendasi agar dilakukan peninjauan atau review atas setiap program yang dijalankan.
"Perlu dilakukan review berkala secara reguler untuk menilai berhasil tidaknya program deradikalisasi atau disengagement baik yang dilakukan oleh K/L (Kementerian dan lembaga), pemerintah daerah maupun CSO," jelasnya.
Turut hadir dalam acara ini, perwakilan K/L terkait mulai dari Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Kementerian Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) hingga Kementerian Luar Negeri.