Sagu Rumbia dalam Tilas Peradaban Kesultanan Bacan

:


Oleh MC KAB. HALMAHERA SELATAN, Sabtu, 20 Mei 2023 | 05:24 WIB - Redaktur: Kusnadi - 425


Halsel, InfoPublik - Sagu rumbia adalah makanan pokok khas masyarakat adat Bacan,  yang lazim dikenal secara turun-temurun  sejak berdirnya peradaban Kesultanan Bacan di Limau Sigarah Kasiruta.

Ambulung adalah nama dalam bahasa tanah Bacan yang artinya pohon rumbia, memiliki ciri khas tersendiri dan tumbuh pada lahan gambut  memiliki kadar air tawar dan tingkat kelembaban yang tinggi.

Pohon rumbia dikenal dalam masyarakat Bacan Halmahera Selatan terdiri  dari beberapa spesis,  sehingga jenis-jenis pohon rumbia itu diberi nama dalam bahasa  tradisional dengan istilah Sike, Ngganing, Pulutang, Tirus, dan Duri Puti, agar mudah membedakanya.

Pengelolaan bahan baku pohon rumbia hingga menjadi tepung sagu disebut bakaya dalam istilah tradisionalnya. Mereka yang mengelolah adalah petani yang menggeluti pekerjaan ini secara turun-temurun.

Biasanya petani yang mengelola bahan baku sagu rumbia terbentuk dalam suatu kelompok yang terdiri dari tiga atau empat orang.

Memulai sumber mata pencaharian masyarakat lokal tempoe doloe ini tidak menentukan waktu dan tergantung pada situasi dan kondisi.

Proses penebangan secara tradisional biasa menggunakan baji kayu dan kapak dengan memperhatikan air pasang atau surut saat mulai menebang pohon rumbia.

Kebanyakan dari petani pengelola sagu meyakini jika saat menebang rumbia tepat pada air pasang maka hasil kandungan bahan baku dalam batang pohon itu akan  melimpah dan begitu pun berbanding sebaliknya.

Proses pengelolaan sagu rumbia biasanya dikerjakan di tepian kali atau kuala  yang airnya tawar mengalir, tujuannya agar air sabagai kebutuhan utama dalam proses pengelolaannya dengan mudah tercukupi.

Selain itu, limbah  dari pengelolaan tepung sagu tidak tertimbun dan  bisa hanyut di hilir sungai guna menjadi pakan ikan, belut, kepiting yang hidup di air tawar. Masyarakat Bacan tempo dulu menjadikan bahan baku sagu rumbia sebagai salah satu objek industri rumahan yang menjadi sumber penghidupan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dari bahan baku pohon rumbia yang telah diolah menjadi tepung sesuai waktu penggenangan yang ditentukan, lalu disauk dan dikemas dalam satu wadah yang dibuat dari helai daun dan tangkai rumbiya disebut tumang atau babat.

Bahan tepung sagu basah akan dibawa pulang dan dipisahkan dari wadah pembungkus untuk dijemur pada sinar matahari hingga kering lalu diayak sampai halus.

Dari hasil tepung sagu kering itu dibuatlah berbagai kuliner tradisional khas Bacan, mulai dari sagu lempeng, sinole, kapurung, berengkes, baha-baha, koko mani, kopsel, krepek kaplang, sagubi, curut, sagu talang dan lainnya.

Namun seiring perkembangan zaman generasi masa kini mulai meninggalkan industri rumahan,  sedangkan yang bertahan sampai saat ini hanyalah Industri sagu lempeng dan kripik kamplang, itupun hanya masyarakat di beberapa desa yang masih melestarikannya, sebut saja Desa Awanggo dan Indomut. Para ibu rumah tangga di desa itu masih menjadikan produksi sagu rumbia sebagai sumber pendapatan untuk kebutuhan hidup sehari hari.

Industri lokal sagu rumbia juga sangat berpotensi untuk dikelola lebih moderen dan profesional hingga bisa menembus pasar swalayan. Namun selama ini belum ada perhatian khusus terhadap arah dimaksud.

Diurai dari ulasan hasil wawancara dengan masyarakat petani pengelolah sagu rumbia di Desa Awanggo Kecamatan Bacan Kabupatrn Halmahera Selatan. (MC Kab. Halsel)