Saudara Kristen Berikan Tiang Penyangga Masjid An Nur Batumerah Ambon

:


Oleh MC Gereja Protestan Maluku, Jumat, 28 Juli 2017 | 11:34 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 4K


Ambon, InfoPublik- Pendidikan penggerak perdamaian dan keragaman berbasis Komunitas PGI-GPM, Ambon 25-28/7 pada hari ke tiga. Komunitas pada pemdidikan penggerak perdamaian di Ambon dimulai dengan mengunjungi Masjid An Nur di daerah Batu Merah.

Jika kita mengembalikan ingatan pada masa konflik Ambon tahun 1999, maka  kita bisa mengetahui apa dan bagaimana masjid An Nur Batu Merah. Di Batu Merah inilah, pecah konflik untuk pertama kali, dalam istilah yang lebih populer, Batu Merah adalah TKP pada konflik Ambon.

Kedatangan kami disambut oleh ustad Sulaiman, rombongan duduk santai di bagian luar masjid. Berbincang walaupun sedikit terganggu dengan bisingnya kendaraan yang lalu lalang. Masjid An Nur terletak tepat di pinggir jalan besar dari Kota Ambon menuju Halong dan Latta. Dari percakapan di sana, kita tahu bahwa Masjid An Nur adalah masjid yang didirikan bersama basodara pela gandong.

Dalam masjid ada tiang Ema, tiang masjid yang didapat dari masyarakat Ema yang merupakan gandong bagi masyarakat Batu Merah. Selain tiang Ema, di sana juga ada tiang Paso. Tiang tersebut dari masyarakat Paso, yang merupakan pela bagi masyarakat Batu Merah. Kita semua tahu, bahwa masyarakat Ema dan Paso adalah Sarane (sebutan untuk masyarakat kristen di Ambon)

Dari An Nur, rombongan menuju sebuah gereja apik nan dingin, jemaat GPM Latta. Kami semua disambut dengan hangat dan dilanjutkan dengan makan siang. Peserta yang menggunakan jilbab beberapa masih canggung, tetapi tetap masuk bersama dengan yang lain. Tiba saat kami semua disuguhi makan siang, beberapa peserta yang muslim menanyakan menu yang akan dimakan. Sebuah awal yang baik, bertanya dengan jujur.

Dari Latta seluruh peserta belajar banyak, bagaimana persaudaraan yang erat sejak tahun 1940-an ini membuat proses rekonsiliasi pasca konflik menjadi lebih cepat. Persaudaraan tersebut masih melekat erat, mereka mengelola kenangan tersebut dengan baik. Sehingga pada saat terjadi perpecahan, kenangan tersebut dipanggil kembali (di recall) sebagai proses rekonsiliasi dan perdamaian. Rekonsiliasi memang tidak semulus dan secepat yang dibayangkan, persoalan kecil yang ada antar islam dan kristen masih tetap ada. Tetapi, mereka terus mengelola kenangan hidup masa lalu untuk terus menerus membangun komunikasi.

Dari Latta anak-anak muda ini menuju rumah Paparisa (Ambon Bergerak). Ini adalah rumah bagi komunitas-komunitas yang ada di Ambon. Komunitas ini mampu meleburkan sekat-sekat agama yang makin mengeras pasca konflik Ambon. Komunitas ini membuktikan bahwa kerja perdamaian bisa dimulai dari hobby yang sama, susah senang bersama dan akhirnya membincang perdamaian di Ambon. Dari paparisa, muncul beberapa gerakan untuk kerja-kerja sosial. Untuk kerja kemanusiaan tanpa melihat sekat-sekat primordial. Diskusi berlangsung hangat, karena kerja komunitas ini mampu menginspirasi anak-anak muda.

Refleksi paling menguat dalam perjumpaan ini adalah rasa haru. Selama puluhan tahun, anak-anak muda ini belum pernah berkunjung di masjid An Nur, belum pernah mengunjungi Batu Merah. Ada haru di para peserta Kristen bisa berkunjung ke masjid Batu Merah dan kampung Batu Merah.

Hal ini terjadi pada panitia pelaksana, lebih dari 50 tahun belum pernah mengunjungi masjid tersebut. Momen mengharukan yang lain salah seorang panitia akhirnya bertemu kawan masa kecil yang terpisah sewaktu konflik. Segregasi yang terjadi pasca konflik akhirnya bertemu dalam perjumpaan walaupun hanya sesaat. Narasi kolektif pengalaman ini harus selalu dihidupkan dan dirayakan untuk kerja perdamajan, khususnya dalam konteks Ambon.

Luka mengangga pasca konflik yang muncul selama training membawa kesadaran bahwa ada kerja menantang dan panjang untuk hidup berdampingan di Ambon. Tidak ada konflik yang membawa kebaikan, dalam tulisan-tulisan refleksi peserta diketahui bahwa haru dalam perjumpaan menjadi momentum titik balik merubah cara memandang yang lain. Hingga suatu saat, seluruh orang di Ambon dan Maluku secara umum mampu merasakan idiom “potong di kuku, rasa di daging”.(MCGereja Protestan Maluku/Eyv)