:
Oleh MC Gereja Protestan Maluku, Rabu, 5 Juli 2017 | 08:39 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 1K
Kariuw, InfoPublik-Peristiwa ritual Gandong dibalik pentahbisan gereja Ebenhaezer di Kariuw, Minggu, (2/7) merupakan peristiwa sejarah para leluhur yang dilanjutkan oleh generasi saat ini.
Hari ini telah ditransformasi menjadi simbol liturgi persaudaraan Gandong dan lintas agama. Penahbisan gereja itu menunjukkan bahwa ibadah gereja adalah ibadah yang terbuka bagi dunia dan manusia.
Jemaat GPM Kariuw serentak diramaikan dengan kehadiran saudara Gandong seperti Booi, Aboru, Kariuw dan Hialooi membanjiri jemaat Kariuw. Anak Negeri Kariuw yang berada diperantauan, pulang menjadi saksi sejarah.Ribuan orang menghadiri semaraknya penthabisan Gereja Ebenhaezer dalam nuansa “Gereja Orang Basudara” yang diusung Gereja Protestan Maluku (GPM).
Pelayan Tuhan Pdt.A.J.S.Werinussa,.M.Si dan Pdt.H.Siahaya,.S.Th (MPH Sinode GPM) dan Pdt.C.Sapulete,.S.Th (Ketua Klasis Pulau Lease) tiba dikariuw sejak sabtu 1/7 disambut oleh basudara salam (Islam) gandong hualoi saat tiba di jalan masuk Jemaat GPM Kariuw.
Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku Pdt.Drs.A.J.S.Werinussa,.M.Si, mengatakan, hidup dalam kehendak Tuhan saling menyayangi ‘sagu salempeng pata dua, kalau ada yang susah saling menolong dan menjaga hidup orang basudara (bersaudara). Penabisan Gedung Gereja Kariuw dalam nuansa orang basudara”.
“Orang Kariuw harus memulai hidup orang basudara, sabar, tulus, penuh cintah kasih. Sebab apa yang kita sepakati dalam kapata orang basudara bisa saja berjalan mulus, bisa saja ada kerikil-kerikil tajam yang menyertai, akan tetapi saya ingatkan kepada orang Kariuw, kalian harus berkorban untuk persaudaraan, karena kita sudah memulainya dari sini”, tambahnya.
“Jika itu tidak dilalu,i maka apa yang kita letakan hari ini itu hanya seremonial belaka. Kepada gandong Hualoy “tampa tangang” gandong hualoy tercatat dengan tinta emas didalam GPM”, tegas Werinussa.
Beberapa hari belakangan ini kita menyaksikan ratusan umat Muslim menunaikan Salat Ied di halaman gereja, ada pula di dalam gereja (Amerika), atau juga pengubahan nama sebuah masjid dengan nama Bunda Maria.
“Semua itu adalah wujud relasi yang inklusif. Namun hal yang terjadi hari ini di Kariuw sedikit berbeda. Sebab ibadah itu kini menjadi sebuah liturgi/selebrasi yang melibatkan semua saudara Gandong (Booi, Aboru, Kariuw, Hualoi) dalam satu tata ibadah.
Hualoi adalah satu-satunya negeri Salam (Islam) dan tiga lainnya ialah Protestan. Selain itu, basudara Salam dari Ori dan Pelauw telah terlibat sejak awal dalam pembangunan kembali gedung gereja itu”, ungkap Sekretaris Umum Sinode GPM Pdt.E.T.Maspaitella,.M.Si yang sedang berada di Leipzig Jerman saat dihubungi Media Center GPM melalui whatsapp.
“Keterlibatan basudara Gandong dan basudara Salam menjadi penting, sebab mereka berperan dalam bagian ritual gereja. Konsep pembangunan gereja ini adalah “ada tampa tangang” dari basudara gandong. Gandong Booi memberi mimbar pemberitaan dalam bangunan gereja ini. Artinya berita Injil menjadi berita persaudaraan dan cinta kasih yang tulus. Gandong Aboru memberi meja perjamuan kudus,”kata Maspaitella.
Minggu, (2/7) dilaksanakan ibadah perjamuan kudus (jam 19.00) dan mengingatkan gereja akan pentingnya mengenang (anamnesa) kasih Kristus yang membebaskan dan mengutuhkan kembali. Persaudaraan adalah penyatuan kembali orang-orang basudara. Gandong Hualoi membangun “trap-trap”, jalan masuk ke gereja. Ini menjadi simbol sharing spiritualitas Salam-Sarane.
“Di jalan itu orang Kristen pergi beribadah. Masuk ke dalam rumah Tuhan. Di jalan itu pula orang Kristen pergi ke dunia dan mereka berjumpa dengan saudaranya sendiri. ‘Jalan Gandong’, atau ‘Jalan Hualoi’, adalah jalan perjumpaan orang basudara. Itulah spirit persaudaraan yang dibangun di atas falsafah hidop gandong. Adat kini bukan sekedar proses membangkitkan memori. Adat kini menjadi narasi dan akta hidup bersama. Dalam selebrasi itu perbedaan benar-benar menjadi harta yang dinikmati dan dihidupi bersama-sama”, urainya.
Kariuw telah mentransformasi masyarakat adat di Maluku untuk menyatakan bahwa sampai di sini, Tuhan menyertai kita. Istilah “sampai di sini” tidak bermakna “selesai”, namun bahwa kehadiran Tuhan itu telah terjadi dan Ia mengantar kita sampai di sini, untuk terus mentransformasi dunia.(MC.Gereja Protestan Maluku/Eyv)