:
Oleh MC Gereja Protestan Maluku, Senin, 22 Mei 2017 | 09:56 WIB - Redaktur: Tobari - 4K
Ambon, InfoPublik - Kota Ambon seketika berubah menjadi etalase kebudayaan Indonesia yang majemuk dan bermartabat, ketika peserta karnaval multi etnik dan multi kultur yang dilakukan oleh berbagai kelompok etnik di Kota Ambon mengalir dalam parade panjang di jalan-jalan Kota Ambon, Kamis (18/5) sore .
Komunitas lintas etnis dan lintas agama merayakan 200 tahun peringatan Perang Pattimura melawan kolonial dalam karnaval tersebut. Beragam corak busana etnis serta pertunjukan seni berbagai daerah di Indonesia, digelar sepanjang jalan yang dilewati para peserta karnaval.
Di tengah keriangan perayaan kemajemukan itu, sebuah pesan jelas dikirim kepada Indonesia, “Belajarlah juga dari Ambon dan Maluku!”. Apapun perbedaan agama, suku, afiliasi politik, ataupun perdebatan soal keadilan dan kebenaran, jangan pernah membiarkan kebersamaan dan hidup “Orang Basudara” tercabik-cabik. Kami pernah mengalaminya, dan harganya sangat mahal.
Sejak awal pembentukannya, Ambon telah menjadi sebuah kota kaum migran. Cikal bakal Kota Ambon bermula dari pembangunan Benteng Portugis “Ferangi,” atau juga dikenal dengan nama “Benteng Kota Laha” sekitar tahun 1500-an.
Saat itu banyak pekerja didatangkan dari negeri-negeri adat di sekitar Pulau Ambon. Sejak pembangunan benteng itu, Kota Ambon kemudian berkembang menjadi kota multikultur, terutama sejak berdatangan berbagai etnis lain dari luar Maluku.
Perkembangan Ambon sebagai kota multikultur tentunya merupakan tantangan menarik untuk diamati, sekaligus dikemas sebagai contoh hidup bersama yang harmoni.
Ambon pernah menjadi episentrum konflik kemanusiaan di Maluku pada tahun 1999-2002. Saat itu ia tercabik-cabik oleh polarisasi agama dan etnis yang tak bisa dikontrol. Konflik itu menghempaskan Ambon, dan Maluku seutuhnya, pada pojok yang paling nista dari sebuah tragedi penghancuran kemanusiaan atas nama agama (maupun etnis).
Kesadaran akan dampak kehancuran yang sangat pahit itu, mendorong warga Kota Ambon, maupun Maluku, untuk bekerja keras membangun perdamaian dan mengelola kembali kemajemukannya sebagai modal social yang patut diteladani.
Banyak aktifitas lintas batas dilakukan di kota yang hampir secara total telah tersegregasi berdasarkan garis agama ini. Semua segmen masyarakat seakan berlomba untuk membangun rasa percaya satu sama lainnya. Berbagai kegiatan dilakukan dalam kemasan diksi-diksi integrasi, seperti “Orang Basudara,” “Pela-Gandong,” dan sejenisnya.
Perjumpaan-perjumpaan dalam kemasan demikian tidak saja dilakukan oleh komunitas-komunitas “asli Maluku” yang telah berdiam di Kota Ambon.
Paguyuban-paguyuban etnis lainnya dari berbagai daerah di Indonesia, dan yang telah berdiam lama di Kota Ambon, juga menginisiasi perjumpaan di antara mereka untuk membicarakan tanggung-jawab membangun kerukunan hidup bersama di Kota Ambon.
Ambon saat ini berupaya keras untuk menjelmakan dirinya sebagai kota yang selalu merayakan kemajemukan dan perbedaan sebagai anugerah Allah yang agung.
Ambon bangkit lagi, bukan untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk berbagi dengan daerah lainnya. Ia ingin membagi pengalamannya membangun perdamaian dari reruntuhan kota dan hidup persaudaraan yang pernah terpuruk.
Keinginan berbagi ini seakan menemukan momentumnya kini, ketika polarisasi agama dan etnis serta paradox tafsir atas keadilan, politik dan hukum sedang mengalami eskalasi yang mengancam kemajemukan di Indonesia. (MC GPM/toeb)