:
Oleh MC Gereja Protestan Maluku, Senin, 27 Maret 2017 | 11:36 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 692
Ambon, InfoPublik- Sejak Kamis, 13 Maret 2017 hingga Selasa, (18/3), Institut Leimena bersama Institute of Global Engagement dan BYU Law, Oslo University menyelenggarakan Certificate Training Program dengan tema Religion and the Rule of Law in Indonesia and Southeast Asia. Program ini diikuti para tokoh agama, akademisi, praktisi LSM dan organisasi kemahasiswaan.
Pdt. Jacky Manuputty, seorang fasilitator, menceritakan pendekatan-pendekatan peace building yang dikerjakan selama ini di Maluku.Direktur Balitbang GPM ini pada awal pembicaraannya secara tegas menyatakan bahwa community base menjadi driven force yang ternyata efekrif guna menangkal fenomena radikalisme, ekstrimisme, terorisme, dll.
Provokator Perdamaian yang juga mendapat Maarief Award ini memahami bahwa radikalisme, terorisme dan term-term sejenis iti terkait satu sama lainnya. Namun term-term ini similar, dan dalam banyak hal, penggunaan term-term ini tidak membantu kerja perdamaian secara efektif.
Alasannya ialah, pertama, term ini debatable. Kita bisa bilang satu kelompok itu radikal. Misalnya HAMAS. Tetapi bagi sebagian orang di Palestina, HAMAS itu alat perjuangan kedaulatan dan pembela hak mereka. Di Indonesia fenomena serupa juga ada misalnya dengan OPM atau lainnya.
Dan umumnya untuk menentang perkembangan term-term tersebut, dikembangkan term dan sekaligus pendekatan seperti deradikalisai, counter ekstrimism, dll.“Saya melihatnya sebagai proses industrialisasi konsep yang menjebak kita secara luar biasa”, tegas Manuputty. Ia melanjutkan bahwa secara historis, konsep-konsep itu berkembang di masa Bush terkait dengan kasus September 11. Malah pendekatan itu mengglobal selama lebih dari 15 tahun.
Dari pengalamannya sebagai Provokator Perdamaian yang berproses bersama masyarakat, bagi Manuputty, term-term itu menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat. Sebab itu kerja perdamaian harus membantu menghilangkan ketakutan masyarakat terhadap radikalisme dan lainnya.
Indonesia sendiri menggunakan deradikalisasi setelah bom Bali, dan berjalan similar dengan counter terorisme. Apa manfaatnya dalam kerja perdamaian di lapangan? Pendekatan deradikalisasi kehilangan kekuatan di komunitas karena tidak disukai oleh masyarakat. Ketidaksukaan ini karena pendekatan ini berpotensi memperkuat ketakutan. Apalagi kemudian pendekatan keamanan dan pertahanan yang lebih diprioritaskan. Tentu tidak berarti bahwa pendekatan keamanan itu tidak penting. Urai Manuputty.
Kegelisahan Manuputty itu ternyata dibangun dari keinginan dan pengalamannya bahwa partisipasi masyarakat harus jadi prioritas ketimbang kerja intelejen.
PERAN TOKOH AGAMA
Pada banyak proses kerja perdamaian yang dijalaninya, Manuputty mengemukakan suatu hal yang sekaligus menjadi catatan kritisnya bahwa banyak tokoh agama mengalami semacam instrumentasi dalam prosesnya.
Contohnya ketika imam dan atau pendeta diminta kerjasama, sehingga mereka juga diminta memberi semacam fatwa bahwa untuk menegaskan bahwa kelompok lain itu teroris atau separatis. Ini yang disebut para tokoh agama diinstrumentasi.
Yang kita perlukan sebenarnya membangun partisipasi masyarakat. Sebab ketika tokoh agama diinstrumentasi maka pendekatan apa pun tidak membantu upaya membangun rasa percaya dan menghilangkan kecurigaan.
Seban itu pendekatan community base, misalnya melalui seni, dan lainnya, juga bertujuan mempertebal jejaring “persahabatan”.
Pendekatan ini bertumpu pada empaty, cinta, harapan. Tokoh agama dan pekerja perdamaian yang menggunakan pendekatan ini harus membuat masyarakat sadar untuk mengalihkan agama sebagai provokator konflik ke agama sebagai kekuatan provokasi perdamaian.
Filosofi dari kerja perdamaian, menurut Manuputty, mengakhiri paparannya ialah setiap orang dilahirkan dengan benih perdamaian di dalam tubuh/dirinya. (MC.Gereja Protestan Maluku/eyv)