:
Oleh MC Kabupaten Sleman, Rabu, 20 April 2016 | 09:21 WIB - Redaktur: Tobari - 330
Sleman, InfoPublik - Kelompok Pengelolaan Sampah Mandiri (KPSM) Atras di Dusun Temulawak Desa Triharjo, Kecamatan/Kabupaten Sleman yang berdiri sejak tahun 2008 terus berkembang.
Per minggu, kelompok tersebut mampu mengolah kurang lebih enam kuintal sampah rumah tangga. Dari pengelolaan sampah secara mandiri tersebut kelompok Atras mampu menghasilkan jutaan rupiah.
Limbah yang dikelola berasal dari warga lingkungan sekitar dusun yang diambil oleh petugas kebersihan tiap satu minggu sekali. "Keseluruhan ada sekitar 1.000 KK yang sampahnya masuk kesini. Setelah limbah ditampung lalu dipilah antara yang organik dan non organik," kata Kepala Desa Triharjo, Irawan, Rabu (13/4).
Sampah organik kemudian diolah menjadi pupuk kompos, sedangkan non organik dijadikan barang kerajinan. Tiap bulan, KPSM ini bisa menghasilkan 2 kuintal kompos. Produk pupuk itu dijual ke gapoktan dan kelompok tani dengan harga Rp2.500 per wadah ukuran lima kilogram.
Jika dikalkulasi, pendapatan dari penjualan pupuk rata-rata Rp200.000 per bulan, sedangkan rosokan Rp600.000-Rp800.000.
"Pengembangan kelompok tidak hanya mengandalkan pengolahan, tapi juga dari retribusi pengambilan sampah. Masing-masing KK ditarik iuran Rp20.000 per bulan," ungkapnya.
Dari berbagai pemasukan itu, BUMDes ini mampu meraup laba bersih bulanan berkisar Rp7 juta. Sebagian dari keuntungan digunakan untuk membantu pendidikan anak usia dini di Desa Triharjo. "Usaha pengelolaan sampah ini bukan semata untuk kepentingan bisnis, tapi juga menyokong pendidikan," kata Irawan.
Tahun ini, pemerintah desa akan kembali membuka unit pengolahan sampah. Lokasi yang dipilih adalah Dusun Sucen. Anggaran sebesar Rp675 juta bantuan dari pemerintah Provinsi dan ADD telah disiapkan untuk membangun fasilitas tersebut. Jika terealisasi nantinya bisa digunakan untuk menampung sampah dari luar wilayah Triharjo.
Manajer BUMDes Unit Atras, Sigit Purwanto, mengungkapkan, ide pembentukan KPSM ini berawal dari swadaya masyarakat yang merasa keberatan lantaran tarif pungutan sampah dari Pemkab terus mengalami kenaikan. Mereka kemudian berinisiatif mengelola sampah sendiri.
Mulanya, kelompok ini dirintis oleh 10 orang. Namun kini hanya tersisa enam anggota terdiri dari tiga petugas pemilah sampah, satu operator mesin, dan dua orang di bagian manajemen.
Sigit menuturkan, usaha pembuatan kompos sebenarnya cukup prospektif hanya saja belakangan mengalami kendala bahan baku yang terus menyusut.
Saat ini, limbah organik yang dihasilkan masyarakat hanya sekitar 15 persen, dan 40 persen berupa barang rosokan sedangkan sisanya residu yang akhirnya dibuang ke TPU Piyungan Bantul. (***/mc sleman/toeb)