Kebijakan Kemenhub Berdampak Buruk Bagi Warga Perbatasan

:


Oleh Media Center Kabupaten Kepulauan Talaud, Jumat, 15 Januari 2016 | 18:35 WIB - Redaktur: Tobari - 228


Melonguane, Talaud, InfoPublik - Kebijakan Kementerian Perhubungan menarik seluruh kapal perintis yang dioperasikan perusahaan swasta nasional dan diserahkan ke kapal merah (PT Pelni), berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan.

Seperti dialami 764 warga Kabupaten Kepulauan Talaud di Pulau Miangas, yang berbatasan langsung dengan Filipina, sejak akhir Desember 2015 lalu tidak lagi dilayani pelayaran termasuk kapal perintis.

Akibat tidak adanya pelayaran tersebut, warga mulai kesulitan mendapatkan bahan pangan. Beberapa keluarga bahkan sudah kehabisan beras. Sementara beberapa pemilik kios yang menjual beras pun mengaku mulai kehabisan beras akibat di-'serbu' warga.

"Desember lalu saya sempat membeli sekitar puluhan karung beras dan hampir habis dibeli. Sekarang tinggal tiga atau empat karung saja," ujar Fony, warga saat dihubungi melalui telepon seluler, Rabu (13/1) sore.

Dikatakan, situasi ini selalu saja terjadi setiap tahun. Dan bila dalam satu dua hari ke depan belum juga ada kapal, maka warga terpaksa mulai makan 'Laluga', pangan lokal sejenis ubi talas yang selalu menjadi alternatif saat terjadi keterlambatan kapal seperti sekarang.

Tak hanya itu, tiadanya pelayaran juga berdampak pada layanan pendidikan di sana. Pasca liburan, anak-anak sekolah tidak bisa mendapat pelajaran secara baik. Mereka bahkan dipulangkan lebih awal, sebab guru-guru mereka belum bisa kembali bekerja di sana pasca liburan Natal dan Tahun Baru.

"Sekitar pukul 11.00 sekolah sudah saya tutup. Anak-anak dipulangkan. Mau bagaimana lagi, sampai saat ini baru ada saya di sekolah. Guru-guru yang lain belum ada karena belum ada kapal yang ke sini," kata Erik Awala, seorang honorer pada SMK Kelautan Miangas.

Camat Miangas, Steven Maarisit, saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. "Stok makanan di sana sudah menipis sekali. Selain itu, sampai saat ini banyak pegawai baik PNS maupun aparat keamanan yang belum bisa kembali ke Miangas untuk bekerja," katanya.

Steven menjelaskan, kapal terakhir yang melayani pelayaran ke Miangas adalah kapal perintis Sabuk Nusantara pada 26 Desember lalu. Pemerintah kecamatan dan warga, katanya, tak terlalu cemas, sebab proses tender kapal perintis untuk 2016 sudah dilaksanakan.

Dimana kapal perintis dijadwalkan mulai berlayar pada 2 Januari. Namun, tiba-tiba pada 1 Januari terjadi perubahan akibat kebijakan yang dikeluarkan  Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan yang memutuskan bahwa semua kapal perintis dialihkan ke pelayaran kapal pelni.

Persoalan ini, lanjutnya, sudah dibawa ke tingkat provinsi. Dan dijanjikan bahwa dalam waktu dekat KM Sangiang akan dibertolak ke Miangas.

"Janjinya malam ini (kemarin malam). Tapi kita lihat saja apakah kapal tersebut benar-benar ke Miangas. Sebab selama ini KM Sangiang hampir tidak pernah masuk Miangas," kata Steven, Rabu (13/1).

Lebih jauh, sejumlah warga pun mulai resah dengan kebijakan baru yang dikeluarkan Kemenhub tersebut. Mereka kuatir hal itu akan berdampak pada menurunnya ekonomi masyarakat. Sebagai akibat sulitnya memasarkan hasil pertanian dan perkebunan seperti kopra, pala dan cengkih yang selama ini diangkut melalui kapal perintis.

"Kalau sesuai pelayaran Pelni, maka kapal hanya sandar sekira satu atau dua jam di pelabuhan. Kalau seperti itu, bagaimana kami harus memuat hasil kopra dan lainnya," kata Opo Ella, warga Karatung.

Dikatakan, jika kebijakan itu akan tetap dilaksanakan, maka pemerintah harus memikirkan adanya kapal khusus untuk melayani pengangkutan hasil bumi warga. "Sebagian besar warga Talaud itu hidup dari kopra, pala dan cengkih. Selama ini hasil-hasil bumi warga itu diangkut melalui perintis.

Konsekuensinya dari kebijakan baru itu, perintah harus siapkan kapal khusus yang melayani pengakutan hasil bumi warga. Jika tidak warga diperbatasan akan lebih sengsara lagi," imbuhnya. (rey/toeb)