- Oleh Farizzy Adhy Rachman
- Jumat, 22 November 2024 | 19:16 WIB
: Kepala Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu UGM Andreasta Meliala dalam FMB9 dengan tema ‘Makan Bergizi Gratis: Dari Sini Kita Mulai!’/Foto: Tangkapan Layar Youtube FMB9
Jakarta, InfoPublik - Pendekatan budaya dan kebiasaan lokal di masing-masing daerah dinilai menjadi kunci sukses program makan bergizi gratis, yang merupakan program utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, agar dapat berjalan optimal.
Kepala Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu Universitas Gajah Mada (UGM), Andreasta Meliala, mengatakan bahwa pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial budaya masyarakat sangat penting dalam merancang dan melaksanakan program ini.
"Kami lihat basisnya evidence atau bukti. Bukti-bukti ini sudah dihasilkan dan sudah dipraktikkan, dampaknya sudah terlihat," kata Andreasta dalam Forum Merdeka Barat (FMB9) dengan tema ‘Makan Bergizi Gratis: Dari Sini Kita Mulai!’ pada Senin (4/11/2024).
Ia menegaskan bahwa makanan bergizi telah terbukti secara ilmiah dapat membantu mengatasi masalah kesehatan, termasuk obesitas dan kurang gizi, yang saat ini menjadi tantangan serius di Indonesia.
Dalam konteks ini, program makan bergizi gratis yang dikembangkan diharapkan dapat menyasar dua isu penting tersebut secara bersamaan. Menurutnya, penyesuaian budaya dalam program gizi gratis tidak dapat diabaikan dalam pelaksanaan program makan bergizi ini.
Pendekatan ini harus mempertimbangkan kebiasaan dan preferensi makanan sehari-hari masyarakat setempat. Misalnya, di daerah pantai, masyarakat mungkin lebih terbiasa dengan konsumsi ikan.
"Sementara di pegunungan, pola makan mereka bisa berbeda. Untuk itu, kita harus buat matriks yang jelas," kata Andreasta.
Dalam rangka menciptakan program ini berjalan efektif, Andreasta juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi berbagai pihak dan stakeholder. Hal ini bertujuan agar saat program dilaksanakan, sudah ada skema yang tepat.
"Sehingga dapat menemukan satu model yang bisa diterapkan di berbagai lokasi. Harus dibedah berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakatnya dan kapasitas sumber daya lokalnya untuk menyuplai bahan makanan hingga kesiapan dapur," tambahnya.
Lebih lanjut, penelitian dan kajian dari akademisi sangat diperlukan untuk memastikan program makanan gizi gratis benar-benar efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Karenanya, kementerian terkait harus memberikan mandat kepada peneliti untuk melakukan kajian di area-area spesifik.
Andreasta mencontohkan, kajian model A sangat cocok untuk diterapkan di lokasi tertentu. Ia juga menekankan bahwa keberadaan fasilitas kesehatan dapat menjadi salah satu sumber yang mendukung kelancaran program ini. Instansi seperti TNI dan Polri pun memiliki jaringan yang dekat dengan masyarakat di daerah-daerah terpencil, yang bisa dimanfaatkan untuk mendistribusikan makanan bergizi.
"Ada instansi-instansi seperti TNI/Polri, mereka punya titik-titik di ujung sana yang dekat dengan masyarakat," jelas Andreasta.
Dengan pemahaman yang mendalam tentang konteks lokal dan kolaborasi antar lembaga, program makanan gizi gratis dapat dijalankan secara efektif. Andreasta optimis bahwa dengan strategi yang tepat, program ini tidak hanya akan membantu meningkatkan status gizi masyarakat, tetapi juga mendukung keberlangsungan budaya lokal dalam konsumsi makanan sehat.
Secara keseluruhan, lanjut Andreasta, adaptasi program makanan gizi gratis dengan budaya daerah masing-masing menjadi kunci dalam mencapai tujuan yang lebih besar.
"Melalui pendekatan yang tepat, program ini berpotensi memberikan dampak positif yang signifikan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia secara menyeluruh," kata Andreasta.