- Oleh Putri
- Rabu, 25 Desember 2024 | 06:16 WIB
: Ilustrasi/Foto: Kemenkes
Jakarta, InfoPublik - Stigma terhadap masalah kesehatan jiwa masih menjadi tantangan besar di masyarakat. Banyak yang salah mengartikan kondisi seperti depresi, gangguan kecemasan, dan stres sebagai cerminan rendahnya keimanan seseorang, yang berdampak pada diskriminasi terhadap penderita.
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, menyampaikan tiga langkah konkret untuk mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang dengan masalah kesehatan jiwa. Langkah-langkah ini berdasarkan rekomendasi WHO yang diterbitkan dalam laporan “World Mental Health Report: Transforming Mental Health for All” pada 2022.
"Langkah pertama adalah strategi edukasi atau education strategies, yang bertujuan meluruskan mitos serta kesalahpahaman yang beredar luas di masyarakat,” jelas Imran dalam keterangan resminya, Selasa (29/10/2024). Edukasi ini mencakup berbagai kampanye literasi dan peningkatan kesadaran, serta kegiatan pelatihan dan pembelajaran yang mendorong pemahaman lebih baik tentang kesehatan jiwa.
Strategi kedua, kata Imran, adalah strategi kontak atau contact strategies, yang mendorong masyarakat berinteraksi langsung dengan orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan jiwa. “Strategi ini bisa berupa kontak sosial langsung, simulasi, atau melalui media digital dan layanan dukungan sebaya di fasilitas kesehatan,” ujarnya. Imran menambahkan, penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial ini efektif dalam mengubah sikap negatif dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan jiwa.
Langkah ketiga adalah strategi aksi atau protest strategies, yang mencakup penolakan stigma secara formal melalui aksi seperti demo, petisi, dan kampanye advokasi. “Strategi ini menjadi pernyataan publik bahwa diskriminasi terhadap penderita kesehatan jiwa tidak bisa dibiarkan,” lanjut Imran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, kontak sosial langsung terbukti menjadi metode intervensi paling efektif untuk meningkatkan pemahaman dan sikap positif terhadap kesehatan jiwa.
Beberapa negara telah berhasil menjalankan kampanye berskala besar yang efektif dalam mengubah persepsi publik. Di Inggris, misalnya, kampanye Time to Change sukses menurunkan stigma dan diskriminasi terkait kesehatan jiwa melalui berbagai acara komunitas dan penghargaan yang diinisiasi para penyintas. “Kampanye berbasis kontak seperti ini efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat,” tambah Imran.
Australia melalui Beyond Blue mengadakan program literasi kesehatan jiwa yang berfokus pada dukungan terhadap penderita depresi dan gangguan kecemasan. Sedangkan di Kanada, kampanye Opening Minds oleh Mental Health Commission of Canada (MHCC) berhasil menurunkan stigma melalui pendekatan edukasi berbasis kontak, khususnya untuk penyedia layanan kesehatan, pekerja, dan kaum muda.
“Hasil utama dari kampanye ini adalah cerita-cerita inspiratif tentang harapan dan kesembuhan yang sangat efektif dalam mengubah persepsi negatif tentang kesehatan jiwa,” tutur Imran.
Dengan tiga langkah tersebut, Kementerian Kesehatan berharap masyarakat Indonesia dapat lebih inklusif dan mendukung penderita masalah kesehatan jiwa agar bisa hidup tanpa stigma dan diskriminasi.