:
Oleh Wahyu Sudoyo, Kamis, 8 Juni 2023 | 17:15 WIB - Redaktur: Untung S - 537
Jakarta, InfoPublik - Pengelolaan sampah secara konvensial dengan hanya menitikberatkan pada pemrosesan akhir melalui fasilitasi landfill sudah sepatutnya ditinggalkan karena akan menimbulkan permasalahan lingkungan lain hingga perubahan iklim akibat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan.
Demikian dikatakan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen PSLB3 KLHK), Rosa Vivien Ratnawati, dalam keterangan resmi yang diterima InfoPublik terkait workshop Pengelolaan Sampah dalam rangka Pengendalian Perubahan Iklim, Penguatan Ketahanan Pangan dan Pengembangan Ekonomi Rakyat di Bandung pada Kamis (8/6/2023).
"Beban tempat pemrosesan akhir yang berat, membuat pengelolaan sampah menjadi tidak optimal dan berpotensi untuk menimbulkan permasalahan lingkungan seperti pencemaran lingkungan, longsor sampah, dan juga perubahan iklim dikarenakan emisi gas metana dari timbunan sampah di landfill," kata Vivien.
Dirjen Vivien mengatakan, data KLHK 2022 menunjukkan, sebanyak 65,83 persen sampah di Indonesia masih diangkut dan ditimbun di landfill.
Untuk itu, KLHK mendorong pengembangan teknologi tepat guna dalam pengolahan sampah dan pelibatan peran aktif seluruh lapisan masyarakat yang bisa dipraktekkan oleh seluruh daerah di Indonesia, seperti instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik, pengolahan sampah menjadi RDF, SRF, dan biogas serta pengolahan sampah melalui biokonversi maggot Black Soldier Fly (BSF).
“Penerapan berbagai opsi teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan ini diharapkan dapat mengurangi timbulan sampah ke TPA dan ke depannya hanya residu yang diangkut ke TPA,” jelas Vivien.
Selain pengelolaan sampah konvensional, polusi plastik menjadi ancaman nyata permasalahan lingkungan yang berdampak pada setiap komunitas di seluruh dunia.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nation Environmenl Programme (UNEP) memprdiksi bahwa pada 2040 mendatang akan terdapat 29 juta ton plastik masuk ke ekosistem perairan.
“Plastik yang berakhir di lautan sebagian besar dihasilkan dari sumber polusi darat yang membutuhkan penanganan dengan kerangka hukum dan kelembagaan dalam proses pengelolaan sampah yang komprehensif,” kata Dirjen PSLB3 KLHK.
Menurur Vivien, implementasi yang efektif di tingkat nasional dan daerah sangat diperlukan, termasuk pengawasan dalam siklus hidup produk plastik, daripada mengatur pendekatan pencegahan terhadap polusi limbah plastik dari daratan.
“Pengaturan tersebut mencakup langkah-langkah yang lebih spesifik dalam rangka menangani masalah produksi, transportasi, konsumsi, perdagangan, dan perlakuan akhir masa pakai plastik dan sifat aditifnya," tutur dia.
Vivien mengajak agar semua pihak terus menggalakkan berbagai langkah dan upaya untuk mendorong kehidupan yang berkelanjutan secara kondusif agar lingkungan sehat.
Misalnya membersihan plastik di pantai-pantai, kawasan konservasi, bantaran sungai, tempat-tempat umum sebagai bagian dari perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023, sehingga dapat memperkuat budaya kehidupan berkelanjutan.
“Karena, sebagai negara dengan kearifan lokal yang tinggi, mari kita hidupkan kembali dan tanamkan pengetahuan dan pendekatan modern inovatif menuju negara yang lebih bersih, hijau dan bebas plastik," tandas Dirjen PSLB3 KLHK.
Foto: Biro Humas KLHK